Wednesday, February 13, 2013

Upacara Adat Perkawinan Dayak Kanayatn / Dayak Bukit



Upacara Adat Perkawinan Dayak Kanayatn / Dayak Bukit
Sedangkan materi hantaran yang dikemaskan antara lain:
1).7 bungkus nasi yang dibungkus
    dengan daun
simpur,
2).7 bungkus nasi pulut yang dibungkus
    dengan daun layakng,
3).8bungkus tumpi’ (cucur) juga
    dibungkus dengan daun layakng,
4).7 ruas sengkatek nasi pulut yang
    dimasak dalam ruas bambu muda),
5).1 tuku’ garam,
6).1 tuku’ gula aren (gula enau),
7).7 linting rokok daun dan
8).7 keping tembakau itam,
9).7 biji buah pinang, daun sirih,
    gambir dan kapur sirih secukupnya.


Nyagahatn / Sembayang pada Jubata

  • Pihak perempuan Suku Dayak Bukit / Kanayatn  pada umumnya jarang sekali melamar pihak laki-laki. Sebab bila pihak perempuan yang melamar, maka akan bermunculan berbagai penafsiran, baik dari orang tua maupun ahli waris pihak laki-laki. Ada yang menafsirkan bahwa perempuan itu sedang hamil secara gelap. Atau ada juga yang menyangka bahwa perempuan itu akan dimadu oleh seorang laki-laki yang telah mempunyai istri atau telah berumah tangga. Permintaan perempuan ini biasanya tidak disanggupi atau tidak disetujui. Namun ada kekecualian yaitu apabila perempuan itu adalah anak tunggal. Untuk perempuan seperti ini, andai kata ia melamar pihak laki-laki, maka tidak menjadi pemikiran pihak laki-laki. Dan biasanya kalau perempuan itu seorang anak tunggal, maka selesai perkawinannya suami meninggalkan rumah orang tuanya, lalu mengikuti istrinya.
  • Setelah mendapatkan calon istri yang sangat dicintainya, ia terlebih dahulu memberitahukan kepada orang tuanya, bahwa ia telah mendapatkan calon istri. Kalaupun ia malu memberitahukan langsung pada orang tuanya, biasanya ia memberi tahukan pada Pak tuanya/Pak mudanya ataupun pada kawan akrabnya. Dengan cara yang demikian kawan akrabnya atau pakmudanya sebagai penyambung lidah memberitahukan kepada orang tuanya. Ketika orang tuanya mengetahui bahwa anaknya sudah ingin menikah, maka diundangnyalah Kepala Adat, ahli waris serta tetangga-tetangga guna menentukan siapa yang akan menjadi Pucaranya.
  • Dalam prosesi pelamaran, pertama-tama, orang tua pihak laki-laki mengirim Pengantara/Pucara. Kunjungan pertama pucara ini ditemani oleh Kepala Kampung sebagai saksi kata. Kegiatan ini disebut barawas. Pucara akan menemui orang tua pihak perempuan untuk menanyakan persetujuannya. Bila orang tua pihak perempuan mengatakan setuju, maka Pucara akan kembali dan memberitahukan kepada pihak pria.
  • Bila Barawas disetujui, maka orang tua pihak pria mengudang ahli waris, masyarakat serta Pengurus-Pengurus Adat dan Kepala Kampung guna dimintai pendapatnya. Untuk mengumpulkan ahliwaris, diadakanlah suatu upacara adat nyuman poe’ pangumpur. Dalam acara ini mereka saling menanyakan keturunan pihak perempuan sebagai calon istri. Apakah keturunannya orang baik-baik. Tapi apabila ternyata keturunannya dianggap keturunan orang yang kurang ‘beres’, maka besar kemungkinan rencana perkawinan dibatalkan. Ada beberapa hal yang biasa dianggap kurang beres yang menyebabkan perkawinan batal antara lain: Pertama, keturunan yang berpenyakit kusta. Kedua, keturunan pencuri. Ketiga, keturunan pembunuh. Bila keturunan perempuan ternyata keturunan orang yang baik, maka Pucara datang lagi yang kedua kalinya pada pihak perempuan untuk melaksanakan upacara yang sama.
  • Setelah kedua belah pihak sama-sama setuju, maka upacara yang ketiga kalinya akan diadakan yaitu upacara adat nyuman poe’ pamakul kata, artinya pengikat tunangan. Dalam upacara adat ini ditentukan pula hari jadi perkawinan. Upacara seperti ini biasanya dilaksanakan terlebih dahulu pada pihak yang akan lepas dari rumah tangganya. Umpamanya, jika pihak perempuan yang akan mengikuti calon suaminya, maka pada pihak upacara nyuman poe’ pamakul kata di rumah pihak perempuan tersebut. Tapi pada upacara nyuman poe’ pamakul kata yang pertama ini belum menentukan hari jadinya. Adapun yang menentukan hari jadinya dari pihak laki-laki dan begitu juga sebaliknya.
  • Sebagai tanda bukti pertunangan sudah disepakati pihak perempuan, maka pihak perempuan mengirimkan sepasang salepe’ bantal. Salepek Bantal ini berisi beras sunguh dan beras pulut serta satu keping uang logam atau uang perak yang dibawa oleh pucara kepada pihak laki-laki. Setelah pihak laki-laki melihat tanda bukti bahwa pertunangan sudah disepakati oleh pihak perempuan, maka pihak laki-laki juga melaksanakan upacara yang sama pula sambil memilih waktu dan menetapkan hari jadinya. Pihak laki-laki juga mengirimkan sepasang salepe’ bantal sebagai tanda bukti bahwa telah melaksanakan upacara nyuman poe’ pamakul kata dan sudah menentukan hari jadinya pernikahan.
  • Bila ternyata keesokannya ada pihak yang membatalkan, maka ia akan dikenakan hukum adat. Hukum adat tersebut bermacam-macam sesuai dengan pembatalan, bisa jadi karena salah satu sakit. Hukum adat pembatalan ini disebut adat Batagakng. Hukum ini dikeluarkan tetapi tidak diambil oleh siapapun sebab ia berfungsi untuk menerangkan kepada masyarakat karena ada yang sakit. Pemberitahuan tentang hari mendatang menyusul.
    • Hukum adat pembatalan karena pihak laki-laki menolak yaitu adat satu buah siam Panara berupa buat tiga tahil sapuluh amas, baruba’ dua buah siam. Tiga tahil untuk menuntut sedangkan dua buah siam diberikan pada Pasirah dan Pucara.
    • Hukum adat pembatalan karena pihak perempuan menolak. Dikenai adat siam Pamatah Tagol yaitu berupa buat tiga tahil sapuluh amas, batanung jalu dua lear, baruba’ dua buah siam.
    • Hukum adat pembatalan karena pihak perempuan/pihak laki-laki kawin lari. Dikenai adat perangkat tunang atau kata kasarnya, kaburukatn pakarakng yaitu berupa buat lima tahil sapuluh amas, batanung jalu, dua lear, baruba’ tiga buah siam. Satu buah siam menyanyi (tempayan) untuk Pasirah satu buah sima pahar undang-undang Timanggong, dan satu buah siam buat pacah untuk Pucara. Ketentuannya: 5 tahil 10 amas batanung jalu untuk penuntut, 1 buah siam manyanyi untuk Pasirah, 1 buah siam pahar undang-undang Tiamnggong, dan satu buah siam pacah untuk Pucara.
    • Hukum adat pembatalan karena calon suami/istri meninggal. Pucara harus membawa satu buah kelor (piring kecil), dan satu bentuk cincin dari pihak yang meninggal kepada pihak yang hidup. Satu buah pinggan ini menandakan Pamogo’ kata yang berarti berakhir, sedangkan satu bentuk cincin berarti pemutus cinta. Bila tidak dikirimkan, pihak yang hidup dapat menuntut adat Pati Nyawa sebesar 12 tahil adat mati batanung jalu 6 lear (60 kg). Akan tetapi calon suami/istri meninggal bukan karena dibunuh tetapi karena penyakit, maka pihak yang hidup dapat mempertimbangkan hukum adatnya sehingga hanya dikenai adat Birakng Siam berupa 3 tahil 10 amas baruba’ siam sabuah.
    • Tapi apabila kemudian salah satu pihak membatalkan tanpa alasan yang jelas, maka pihak pembatal dikenakan sanksi adat 1 buah siam jalu seko sebagai siam uru’-uru’ (olok-olok dan penghinaan). Adapun materinya yaitu 12 buah pinggan putih dan 1 ekor babi dengan berat timbangan 12,5 kg lengkap dengan 1 kg beras sunguh 1 kg beras pulut satu butir telur ayam dan minyak tengkawang secukupnya. Setelah upacara adat siam uru’-uru’ ini didoakan oleh Imam Panyangahatn, maka daging babi dan ayam dimakan bersama di rumah pihak yang menuntut (yang menerima pembayaran hukum adat).
  • Tiga hari sebelum pernikahan dilangsungkan kedua belah pihak masing-masing suami dan istri menyiapkan bahan-bahan untuk pesta perayaan perkawinannya yang dibantu oleh masyarakat sekampungan. Sebelum keesokan harinya melangsungkan perkawinan, maka pada malam harinya kedua belah pihak melaksanakan upacara nyuman poe nele’ pingatn di rumahnya masing-masing. Karena kedua mempelai berlainan kampung, maka seorang yang diangkat sebagai mewakili pucara dari pihak perempuan pada malam nyuman poe nele’ pingatn yang datang ke rumah pihak laki-laki. Dan sebaliknya pucara dari pihak laki-laki menyaksikan upacara nyoman poe nele’ pingatn di rumah pihak perempuan, sambil menyambut kedatangan rombongan pengantin pada keesokan harinya. Menurut kebiasaan perkawinan suku Dayak Kanayatn laki-laki yang berkunjung terlebih di rumah pihak perempuan. Oleh karena itu pihak laki-laki mulai mengemas-ngemaskan hantaran sebagai bahan yang akan dibawa di rumah mempelai perempuan.
  • Persiapan yang harus dilakukan pihak laki-laki yang akan menemui pihak perempuan yaitu pertama-tama menyiapkan seorang Imam Panyangahatn (Imam Pendoa). Kedua, satu orang panguba’ cantung (orang yang bersedia mau mengambin barang-barang persiapan pengantin). Ketiga, satu orang Pucara. Ke empat, selain orang-orang tua laki-laki dan perempuan, juga menyiapkan pemuda dan pemudi yang akan ikut menjadi rombongan pihak mempelai laki-laki.



Sedangkan materi hantaran yang dikemaskan antara lain:
1).7 bungkus nasi yang dibungkus
    dengan daun
simpur,
2).7 bungkus nasi pulut yang dibungkus
    dengan daun layakng,
3).8bungkus tumpi’ (cucur) juga
    dibungkus dengan daun layakng,
4).7 ruas sengkatek nasi pulut yang
    dimasak dalam ruas bambu muda),
5).1 tuku’ garam,
6).1 tuku’ gula aren (gula enau),
7).7 linting rokok daun dan
8).7 keping tembakau itam,
9).7 biji buah pinang, daun sirih,
    gambir dan kapur sirih secukupnya.


Semua perabot tersebut dimasukkan dalam cantung (alat pengambin). Selain itu disiapkan pula beras banyu secukupnya yang ditaruh dalam mangkuk kecil, karena ini dipakai oleh Panyangahatn sewaktu-waktu diperlukan di tengah perjalanan nanti. Selain itu disiapkan pula 3 ruas sengkatek nasi pulut dan 1 bungkus tumpi, yang ini akan dipergunakan oleh Panyangahatn sewaktu-waktu diperlukan. Hal lain yang harus disiapkan yaitu topokng. Topokng adalah kotak tempat sirih lengkap dengan isinya (daun sirih, pinang, gambir kapur sirih, tembakau dan rokok daun). Topokng ini dipergunakannya untuk beramah tamah di rumah pengantin perempuan.
  • Pada keesokan harinya rombongan pengantin berangkat menuju rumah mempelai perempuan. Tapi sebelumnya rombongan pengantin berangkat, di tangga turun, Panyangahatn membacakan doa beras banyu yang berbunyi demikian: “A koa iatn kita’ Ene’ Daniang, Pama Ne’ Nange Patampa’, Ne’ Pajaji Ne’ Pengedokng, Ne’ Taratatn, Ne’ Amikng, Ne’ Pamijar nang nonokng ngalompa’ kami talino manusia tamula idup tamula jaji, Siti Awa, Nabi Adam, iatn aku maca mamangan baras banyu baras cuci baras aning naing jakita’ pama Jubata. Nianlah kami babatak bakahula batampak batarakng ka’ kita’. Karana ari naing kami nuruntatna’ panganten da’ Sianu’ naing balaki babinia’ mang sianu’, jaji nian unang ia dah turutna’ panganten kami minta baras banyu nian kade’ ka’ pucuk jaji payukng jaji tono’. Kade’ ka’ tubuh ka’ badan ia jaji gunapm barote’ jaji palincir palias. Kade’ ia ka’ tanah ka’ saka ka’ maraga jaji sabar kuta benteng pagar talutuk jaji jojo danatn. Kade’ ada setan iblis nang ngaco nang ngarua’ kami minta’ baras banyu nianlah nang mampu mampi’ madapmnya. Karena kami mangka make baras banyu nian Jubata bukatn uga’ numbuh mamula mobok marompokng. Nianlah baras banyu nang turutn di ne’ Unte’ Tanyukng Bunga sae’ di Sabaka Samatn di Turintikng Angge Pauh Janggi Petor Kalimantan Tungal nang ngajaratnnya ka’ kami talino manusia Jubata. Kade’ panganten nian bejalatn ampa bajalatn ka’ bide ka’ papatn poa’ duri poa’ onak. Sampe atakng ia ka’ rumah nang bini nang yaknya binia’, atakng baraseh atakng salamat. Ahe agi’ke’ ia nang pangantena’ sampe uga’ ka’ Pucaranya sampe uga’ ka’ kami nang ngayukngi’nya sampe uga’ ka’ nang bini nang diatakngia’ sama baraseh sama salamat nain bahnang kami minta kami mulih Jubata. Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh koa bajalatn nang kao dolo’ baras banyua. Kade’ ada jangkang raba’ setan balis kao salabih dolo ngege ngais nyiang muka’ ngaramaknya ame ia jaji pangaco pangaru ka’ talino manunsia jakita’ Pama....Jubata.”
(Artinya, ya Tuhan ya Allah engkau yang menciptakn dunia ini serta isinya, juga Engkau yang menciptakan kami dari tanah liat dan memberi napas kehidupan pada manusia yang pertama Nabi Adam dan Siti Awa. Dengarlah doa kami dengan beras banyu yang tujuh biji ini. Biarlah Engkau memberkati beras banyu ini agar menjadi pelindung kami di tengah-tengah perjalanan nanti. Ya Tuhan, karena kami pada hari ini akan mengantarkan mempelai laki-laki ke rumah mempelai perempuan yang sekaligus pada hari ini pula akan melangsungkan perkawinannya. Tuhan, lindungilah kami semuanya. Tuhan juga mau melindungi mempelai perempuan beserta kaum kerabatnya, agar kami bertemu dan berkumpul bersama-sama dalam keadaan selamat ya Tuhan. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, berjalanlah engkau beras banyu yang tujuh biji, karena engkau sudah diberkati oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Biarlah jika engkau diatas menjadi tudung bagi kami. Kalau di tanah biarlah engkau menjadi pagar yang melindungi kami. Kalau engkau berada di badan kami biarlah engkau menjadi perisai untuk menyelamatkan kami dari godaan setan iblis. Satu dua tiga empat lima enam tujuh ya......Tuhan).
  • Selesai Imam Panyangahatn membacakan doanya, rombongan pengantin berangkat menuju kampung pihak mempelai perempuan. Apabila rombongan penagntin di tengah perjalanan melihat pertanda yang jahat ataupun mendengar bunyi suara tertentu, maka ketika itu juga mereka mengadakan upacara nompo’ (semacam istirahat). Saat itu juga Imam Panyangahatn membaca doanya, agar Jubata tetap melindungi mereka. Setelah itu Panyangahatn memberi makan segenap rasi (pertanda jahat dan bunyi binatang) tertenu dengan tumpi’ poe’ ditambah sedikit garam, kemudian ditaburkan. Maksudnya, supaya setan jangan mengganggu perjalanan mereka. Bila rombongan mereka di tengah-tengah perjalanan secara kebetulan bertemu dengan orang sedang memikul mayat yang hendak dikuburkan, ataupun menjumpai bangkai binatang, maka sebelum naik ke rumah mempelai perempuan mereka terlebih dahulu memberitahukan kepada pihak perempuan agar menyediakan satu ekor ayam jantan. Setelah ayam jantan disediakan dan dibawa pada rombongan pengantin, maka Panyangahatn membacakan doanya serta mengibas-ngibaskan sayap ayam jantan itu pada semua rombongan pengantin, lalu menerbangkan ayam jantan itu supaya lari jauh-jauh. Upacara ini disebut bapipis lapas. Maksud dan tujuannya agar penglihatan dan pendengarannya di tengah perjalanan tadi habis terbuang dengan ayam yang dilepaskan itu.
  • Kalau rombongan pengantin di tengah perjalanan tidak menemui kendala apa-apa, maka rombongan pengantin berjalan terus menuju rumah pihak perempuan. Setibanya di rumah pihak perempuan, rombongan pengantin disambut dengan percikan air bunga. Teristimewa sekali diutamakan mempelai laki-laki diperciki air bunga oleh Pucara yang ikut menantikan kedatangan rombongan pengantin. Setelah itu salah seorang yang menanti kedatangan rombongan memerciki Pucara yang memimpin rombongan serta Panyangahatn dengan air bunga. Setelah acara ini rombongan beserta mempelai laki-laki memasuki ruangan yang telah disiapkan dan ditata sebelumnya. Mempelai laki-laki dengan Pucara serta Panyangahatn duduk di tempat yang sudah disediakan. Beberapa menit kemudian mempelai perempuan keluar dari dalam bidik, lalu duduk di samping kiri mempelai laki-laki.
  • Setelah kedua mempelai duduk bersanding, maka pihak perempuan terlebih dahulu mempersilakan orang-orang yang hadir untuk merokok sambil menunjukkan topokng kotak tempat sirih. Sebaliknya juga dari mempelai laki-laki menunjukkan topokng kotak tempat sirihnya. Setelah itu mulailah rombongan mempelai laki-laki beramah tamah dengan sanak famili dan masyarakat pihak perempuan. Kedua mempelai terlebih dahulu dipersilakan makan sirih sambil merokok. Kalau menurut zaman sekarang rokok daun dan tembakau hitam hanya sekedar menurut kebiasaan saja. Tapi untuk kedua mempelai sudah barang tentu rokoknya pastilah setidak-tidaknya rokok gudang garam. Karena menurut adat walaupun kedua mempelai tidak biasa merokok, biarlah merokok itu hanya untuk basa basi saja.
  • Setelah selesai merokok, kira-kira beberapa menit kemudian keluarlah nasi pulut dengan tumpi’ (cucur). Kegiatan makan poe’ (ketan) ini disebut Upacara Adat Poe’ Panyapa. Sebelumnya poe’ panyapa ini dimakan. Panyangahatn membacakan doanya terlebih dulu dengan maksud memanjatkan doa puji dan syukur pada Jubata (Tuhan) agar supaya Jubata memberkati perkawinan kedua mempelai. Panyangahatn mengambil sedikit tumpi’ dengan nasi pulut dan dikepal-kepalnya, lalu mempelai perempuan disuruh menelentangkan tangan kanannya. Tumpi’ dengan nasi pulut tadi diletakkan di atas telapak tangan perempuan. Dan mempelai laki-laki disuruh menelungkupkan telapak tangan kanannya pada telapak tangan mempelai perempuan seolah-olah berjabat tangan. Lalu Panyangahatn juga ikut memegang telapak tangan kedua mempelai sambil berdoa yang berbunyi demikian:
“Asa’ dua talu ampat lima anam tujuh, iatn aku mura’atn tumpi’ poe’ nang ka’ gangaman urakng nang dah dimangantenan nian Jubata. Aku mura’atnnya ka’ mata’ari tapancar taburas. Nang murasatn rajaki untukng tuah nang mare’nya barakat Jubata. Sa’ dua talu ampat lima anam tujuh, iatn agi’ aku mura’aatnya ka’ mata’ari nang tangah. Nang nangahan rajaki untukng tuah barakat ka’ rumah tanga’nya sampe uga’ nangahan tubuh badannya minta’ ringakng nyaman kaidupatnnya dingin sajok supaya baomoratn mang ai’ mang tanah batagaratn mang miakng buah bukit panamukng nang tingi. Hega’ ia minta babah panokng bawakng tingi kaidupatnnya. Longkat ai’ pade rintawatn lanu’ omornya Jubata. Sa’ dua talu ampat lima anam tujuh, iatn aku mura’atnnya ka’ mata’ari turutn tama’. Nang ia nang balaki babini naing minta’nya nurun tali tampunan pama da’ Ne’nya urakng nang biasa jaji pagalar jaji pajanang, urakng nang biasa tali kaya are kaya sugih Jubata. Barakati’lah kaidupatnnya ia dua laki bini nian. Kami minta ia sapikir sakarungan satinyak sajalatn sajodo satuah sapakat sabaya Jubata. Karana cuma ka’ kita’ Ne’ Nange Ne’ Patampa’nya tampat kami talino manunsia bapita’ bapulih jakita pama.......... Jubata.” (Artinya, satu dua tiga empat lima enam tujuh saya mengunjukan kedua telapak tangan kedua mempelai ini ke matahari terbit ya Tuhan. Bimbinglah jagalah dan berkatilah kehidupan kedua mempelai ini sepanjang hidupnya. Karena seperti matahari terbit inilah kehidupannya, baru saja menempuh hidup barunya. Ya Tuhan ya Allah berilah ia petunjuk dikala ia menemui kesulitan. Hiburlah mereka dikala ia dalam masa kesusahan, agar apa yang dicita-citakannya mudah terwujud dan apa yang dicarinya mudah didapatkannya. Kami yakin dan percaya berkat bimbinganmulah maka setiap tindakannya sesuai dengan kehendakmu. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, aku mengunjukan tangan mereka ini ke matahari tengah. Demikian jugalah kiranya Engkau ya Tuhan, Engkau selalu menengahi serta melindungi ketika mereka memperjuangkan kehidupannya. Satu dua tiga empat lima enam tujuh, aku mengunjukan tangan kedua mempelai ini ke matahari menurun ke matahari masuk. Demikian jugalah kiranya Engkau selalu menurunkan dan memasukan rezeki yang berkelimpahan didalam rumah tangganya ya Jubata).
  • Setelah selesai pembacaan doa, Imam Panyangahatn membuka kedua telapak tangan suami istri tadi. Dimana tumpi’ poe’ tadi melekat, umpamanya melekat ditelapak tangan istrinya, maka istrinyalah yang makan tumpi’ dan poe’ itu dan begitu sebaliknya. Setelah itu hadirin dipersilakan makan tumpi’ dan poe’ sambil minum kopi menurut kebiasaannya. Setelah upacara poe’ panyapa, maka kedua mempelai dipersilakan pergi mandi. Untuk menuju tempat mandi, kedua mempelai tetap diantar oleh Pucara. Mempelai pria dengan membawa sebilah parang tangkin yang tidak pakai sarung. Ini melambangkan keperkasaan seorang laki-laki yang berani membela kebenaran serta bertanggung jawab untuk melindungi dan memperjuangkan kehidupan berumah tangga secara harmonis. Mempelai perempuan membawa satu ruas tabakng sejenis tempat air yang dibikin dari bambu. Ini melambangkan bahwa perempuan itu dengan hati yang lemah lembut untuk membina rumah tangga sejuk seperti air yang menetes tiada henti-hentinya dari pancur, sehingga tercapailah kehidupan berumah tangga yang rukun damai, serta bahagia dan sejahtera.
  • Selesai mandi mereka pulang ke rumah, lalu masuk ke dalam ruang bilik dan duduk di tempat yang telah disediakan untuk bersanding yang kedua kalinya. Setelah itu, dua orang Pucara, orang tua-orang tua terdekat dari pihak suami istri, serta tetua-tetua adat dari pihak suami dan istri, panyangahatn, diikutsertakan bersama-sama duduk di ruang bilik untuk makan bersama dengan kedua mempelai. Suami dan istri makan sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya. Selesai makan, kedua mempelai dipersilakan duduk bersanding yang ketiga kalinya di tempat semula. Tapi sebelumnya mereka keluar dari dalam bilik, terlebih dulu hantaran yang tersedia dalam cantung dikeluarkan dan dibagi-bagikan. Adapun pembagian barang-barang tersebut sebagai berikut:
    • Dua orang Pucara masing-masing dapat pembagian sepasang salepe’ bantal yang berisi beras sunguh dan beras pulut.
    • Duamiadi’ ene’ dari pihak suami dan istri masing-masing mendapat bagian sepasang salepe’ bantal, ditambah sekeping uang logam ataupun uang perak. Karena duamiadi’ ene’ sebagai kepala ahli waris yang berhak menuntut apabila salah satu mempelai mengingkari perjanjian ikatan perkawinan mereka.
    • Imam Panyangahatn juga dapat sepasang salepe’ bantal ditambah sepiring beras sunguh dan sepiring beras pulut.
    • Pasirah, Kepala Kampung juga mendapat masing-masing sepasang salepe’ bantal.
Adapun perabot lainnya tidak boleh diberikan kepada orang lain. Umpamanya garam, gula, tembakau rokok, sirih pinang gambir dan kapur sirih. Barang-barang seperti ini harus diserahkan kepada yang melaksanakan perkawinan. Arti dan maknanya yaitu:

    • Garam adalah melambangkan semangat perjuangan suami istri untuk memperjuangkan kehidupan mereka sehingga mencapai kehidupan yang sejahtera dan bahagia.
    • Gula adalah melambangkan kehidupan berumah tangga yang harmonis.
    • Sirih, pinang, kapur, gambir, tembakau dan rokok daun melambangkan kerja sama antara suami istri, rukun dan damai berdasarkan cinta kasih.
  • Setelah hantaran tersebut selesai dibagi-bagikan, maka kedua mempelai keluar dari dalam bilik menuju tempat semula dan duduk bersanding lagi untuk yang ketiga kalinya. Pada saat ini mereka mendengarkan petuah-petuah dan nasehat dari Pucara, ahli waris, orang-orang tua, dan Kepala Kampung sebagai penutup acara. Sehabis kata penutup dari Kepala Kampung, maka selesailah upacara adat perkawinan yang diadakan pada pihak perempuan. Dan kedua mempelai harus barumukng selama dua hari tiga malam.
  • Setelah barumukng, maka satu hari sebeleum rombongan pengantin dari piahk perempuan datang, orang tua dari pihak laki-laki beserta masyarakat kampung mulai menyiapkan perangkat untuk perayaan pesta perkawinan. Perangkat yang disiapkan antara lain beras sunguh, beras pulut, beberapa ekor ayam dan babi untuk pesta perkawinan. Pada keesokan harinya rombongan pengantin dari pihak perempuan berangkat menuju rumah mempelai laki-laki dengan perangkat dan cara yang sama. Setelah sampai di rumah mempelai laki-laki juga disambut dengan cara yang sama sehingga selesai makan pengantin duduk bersanding lagi untuk mendengarkan petuah dan nasehat dari orang-orang yang bersangkutan.
  • Sebelum memberikan petuah-petuah dan nasehat terlebih dahulu tuan rumah menerima rombongan pengantin. Tuan rumah menanyakan selama dalam perjalanan apakah ada rintangan. Yang dimaksud dengan rintangan disini yakni pendengaran bunyi-bunyi binatang tertentu ataupun penglihatan yang kurang menyenangkan. Selesai pertanyaan itu dijawab oleh Pucara rombongan, maka barulah dilaksanakan pemberian petuah-petuah dan nasehat dengan cara yang sama ketika di rumah pihak perempuan. Hanya saja masih ada tambahan nasehat yang berbentuk pepatah yang berbunyi demikian: “Kade’ baati arus batiatn batu. Kade’ batarenyekng menarennyengkatn banir. Ame sekali-kali makatn pamakanan pilanuk. Ame nabak gule gilabut.” (Artinya, berpikiran seperti batu, baik di dalam hidup membina rumah tangga, maupun menanamkan iman dalam hati, supaya kita bertindak tepat pada sasarannya. Telinga harus kuat seperti pohon kayu yang besar, tidak mudah tumbang digoyang angin, sehingga kalau ada sedikit saja terdengar omongan orang dan tuduhan yang bukan-bukan kepada suami/istri, jangan sampai kita telan bulat-bulat atau dipercayai seratus persen tanpa diselidiki terlebih dahulu, dan minta cerai. Jangan sekali-kali makan makanan binatang kancil. Artinya, jangan cemburu buta tanpa bukti. Jangan melempar hanya bayang-bayang. Artinya, jangan sembarang menuduh tanpa kenyataan. Sebagai kunci nasihat biasanya diucapkan: bukatnnya lantak pakul dipapatn (bukannya seperti menghentak paku di papan). Artinya, hidup ini bukan hanya menetap, tetapi juga bisa berpindah-pindah. Di mana tempat atau kampung yang cocok dengan kita, disitulah kita menetap. Selesai pelaksanaan pemberian nasihat dan petuah-petuah Pasirah menutup acara.
  • Dalam masyarakat Dayak Bukit terdapat bermacam-macam bentuk perkawinan:
    • Salah satu bentuk perkawinan yaitu seperti diuraikan di atas, yaitu bentuk perkawinan bagi orang yang mampu
    • Adapun bentuk perkawinan yang lain adalah bentuk perkawinan ampa pulakng ka’ uma (seperti pulang dari ladang). Bentuk perkawinan seperti ini dilaksanakan setelah melihat situasi dan kondisi anak bujang anak dara bersangkutan. Apabila sudah sama-sama jatuh cinta da pergaulannya sudah terlalu intim, maka supaya jangan sampai kebobolan kedua belah pihak ahli waris dari pihak laki-laki dan pihak perempuan mengadakan musyawarah untuk menemukan kata sepakat. Dalam pelaksanaan mencari kata sepakat biasanya ahli waris kedua belah pihak dipertemukan di tengah jalan. Dari tengah jalan ini, kemudian kedua belah pihak sama-sama menuju rumah pihak laki-laki. Perkawinan seperti inipun dianggap syah apabila ada kesepakatan dari kedua belah pihak ahli waris. Upacaranya cukup dengan cara nyuman poe’ pangumpur. Kesederhanaan acara perkawinan ini boleh jadi dikarenakan ada salah satu pihak keluarga yang tidak mampu membiayai upacara perkawinan anaknya.
    • Bentuk perkawinan lain yaitu bentuk panganten tama’ mang nasi’ (perkawinan masuk dengan nasi). Perkawinan ini cukup berbekalkan beberapa bungkusan nasi. Bentuk perkawinan seperti ini dimungkinkan apabila salah satu pihak, perempuan atau laki-laki, adalah yatim piatu atau anak sebatang kara (golongan orang tidak mampu). Cara perkawianan ini hampir mirip dengan perkawinan pulakng mpat ka’ uma, hanya saja sedikit perbedaannya. Setelah disepakati oleh kedua belah pihak ahli waris laki-laki dan perempuan tidak langsung nyuman poe’ pangumpur sebagaimana panganten mpat ka’ uma, tetapi disepakati mempelai laki-laki diantar oleh Pucara ke rumah mempelai perempuan, lalu duduk bersanding sekitar 30 menit. Setelah duduk bersanding kira-kira 30 menit, lalu dikeluarkan tumpi’ poe’ beberapa pinggan sebagai tanda bukti bahwa kedua mempelai sudah menikah. Selesai makan poe’ tumpi’, Imam Panyangahatn membacakan doanya agar perkawinan mereka diberkati oleh Ene’ Daniang (Tuhan Allah). Selesai Panyangahatn membacakan doanya, hadirin yang ikut menyaksikan perkawinan tersebut, kira-kira dua tiga orang, dipersilakan masuk ke dalam bilik dan diikutsertakan makan bersama dengan kedua mempelai yang telah diberkati perkawinannya. Selesai makan, kemudian dilansungkan acara memberikan petuah-petuah dan nasihat pada kedua mempelai. Setelah selesai pemberian nasihat dan petuah, yang hadir dalam upacara perkawinan, pulang ke rumahnya. Perkawinan seperti ini juga dianggap syah apabila disepakati oleh kedua belah pihak ahli waris.
    • Bentuk lain yaitu panganten bataapi’ (perkawinan saling mengambil). Bentuk perkawinan ini yaitu bentuk kawin lari. Pemuda dan pemudi yang saling menyintai, tetapi karena takut tidak disetujui atau bahkan tidak disetujui oleh pihak keluarga, bersepakat untuk melangsungkan perkawinan. Caranya yaitu mempelai perempuan mengikuti mempelai laki-laki pulang ke rumahnya, lalu menyerahkan diri pada Pasirah, sebagai pengurus adat, sambil memberi tahukan bahwa dirinya sudah menjadi suami istri tanpa seijin dari kedua belah pihak orang tuanya. Perkawinan seperti ini tetap harus diresmikan secara hukum adat, karena perkawinan ini tanpa disepakati oleh ahli waris kedua belah pihak. Bahasa adat mengatakan: nganti pingatn poe’ (menggantikan pinggan ketan). Adapun berat ringannya hukuman adat tergantung dari jauh dekatnya hubungan kekerabatan antara mempelai laki-laki dan perempuan. Bila tidak ada hubungan kekerabatan, sealiran darah, maka hukumannya agak ringan. Namun apabila ada hubungan kekerabatan walaupun cukup jauh, maka hukumannya agak berat. Tentunya akan lebih berat apabila hubungan suami istri masih satu kakek/nenek. Adapun hukuman adat perkawinan secara bataapi’ ini seringan-ringannya 3 buah siam dan 3 ekor babi; dan setinggi-tingginya 17 buah siam dan 17 belas ekor babi bagi suami istri yang sangat dekat hubungan darahnya.
    • Bentuk panganten barangkat (perkawinan berangkat). Bentuk perkawinan seperti ini adalah kawin lari secara bersama. Perkawinan seperti ini sangat dilarang oleh hukum adat. Salah satu jenis dari bentuk ini yaitu balaki babini secara bataapi’ (apabila salah satu laki-laki dan perempuan sudah berkeluarga). Hukum untuk bentuk perkawinan ini sangat berat.
    • Hukum adat yang diberlakukan untuk balaki babini bataapi’ yaitu harus membayar adat perangkat selengkapnya kepada suami/istri yang menuntut atau yang ditinggalkan. Disamping itu, pihak suami juga harus membayar hukum adat kepada istri yang baru (yang diajak kawin). Namun besar kecilnya hukuman adat juga melihat jarak jauh dekatnya hubungan kekerabatan kedua belah pihak.
    • Bentuk panganten adat parangkat babulakng (perkawinan adat perangkat kembali pulang). Bentuk perkawinan seperti ini termasuk bentuk kawin lari bersama. Hanya saja bedanya yaitu antara laki-laki dan perempuan sama-sama sudah mempunyai keluarga. Hukum adat yang dikenakan yaitu dua kali lipat dari hukuman adat parangkat biasa seperti bentuk perkawinan di atas.
  • Upacara-upacara adat lain yang berkenaan dengan kehidupan perkawinan antara lain:
    • Upacara nyuman poe’ Gawe Kalekng Sinopo. Dilakukan pada saat ulang tahun perkawinan dengan memotong 3 ekor babi dan 17 ekor ayam sebagai jamuan.
    • Upacara nyuman poe’ Gawe Tukukng. Dilakukan bila suami istri yang masih hidup memperoleh seorang cucu, dengan memotong 7 ekor babi dan 24 ekor ayam.
    • Upacara nyuman poe’ Gawe Sapet. Dilakukan bila suami istri yang masih hidup memperoleh seorang cicit dengan memotong 12 ekor babi dan 32 ekor ayam.
Catatan:
3 Tahil = 2 buah siam = 24 pinggan + 1 ekor babi minimal 20 kg dan 1 ekor ayam.

1 Tahil = 8 buah pinggan. 1 Buah siam = setahil tangah = 12 buah pinggan. 10 Amas = 6 buah pinggan.



Sumber :
http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Upacara_yang_Berkaitan_dengan_Kehidupan_Manusia

No comments:

Post a Comment