"....to review the placement plan 4000 Patriarch transmigration along the District Sanggau border and Malaysia...."
Deputy President of the National Assembly Dayak Customary (MADN)
BL Atan Palil in Pontianak
National
Dayak Customary Council (MADN) asking the Central Government in this
case the Minister of Manpower and Transmigration and West Kalimantan
Provincial Government and the District Governments of Sanggau to review the
placement plan 4000 Patriarch transmigration along the District Sanggau border
and Malaysia."The
government should evaluate the current condition of the carrying
capacity of land and 1,806,172 hectares of forest border, covering an
area of 143,804 hectares of Sanggau," said the Deputy President of the
National Assembly Dayak Customary (MADN) BL Atan Palil in Pontianak on a
number of reporters, Tuesday 12 Maretr 2013.According
to him, the current population of West Kalimantan Border around 2.3
million, and the number of residents in the District Sekayam and
Kecmatan Entikong about 85 thousand inhabitants. The presence of 7 companies HPH / IUPHHK, 3 companies IUHHK HT and 5 existing oil companies."It should be evaluated transmigration program that ever existed in 1986 as many as 478 families in Sungai Dangin," he said.Most
of the area along the border is a conservation area of protected
forest, production forest, and a small area of other uses. "Transmigration placement plan will affect ecologically against these areas," he said.Described by him, potential forest encroachers will semajin, considering the potential of the wood is still very large. This damage will have an impact on local communities for generations to live in the surrounding forest and get the benefits.Pressure
on the size of the carrying capacity of the land due to human
activities with the placement of 4000 kk transmigration also potentially
create a conflict of interest that land."Local
communities are very squeezed by the development of oil palm
plantations and timber estates in the area of other uses. Plans
activities that require space / transmigration areas such as this,
should pay attention to the pattern of land use contained in the
provincial spatial plan," he explained.Environmental
sustainability of natural resources, the richness of the local culture
and local wisdom impossible not be eroded by the placement of
transmigration. Coercion
program development with top-down pattern should be abandoned and it is
not to be done again, and the bottom-up development patterns will be
more touching and real people answer the question."We
all agreed, the development was aimed at the welfare , not destroy especially the marginalized local
communities," said Atan Palil.Described
by him, if the current conditions related to human resources, natural
resources, socio-economic and cultural distinction dicermti not right,
then top-down policies that tend to impose, can make new
problems for the existence of indigenous peoples and the border area
that has been agreed as a terrace Homeland.In
accordance MADN study, the percentage of the main problems in the area
of West Kalimantan-Malaysia border along the 748 KM, the largest low
government support empowerment in natural resource sectors, such as
agriculture, horticulture, fisheries, and forestry.Following
the lack of support in the sector empowerment pemerintaah natural
resources, and human resources, he said, reinforced by the very lack of
infrastructure, the economy, such as transport, communication,
information, and banking."Until
now, a reflection of the border area as a terrace NKRI not equivalent
to treatment with a terrace in the Malaysia border," he remembers
anymore.MADN
also expect the government to take steps strategic improvements,
especially in the District and other border areas, before performing
actions that could lead to the perception antagonisprovokatif and
feedback can be detrimental to the government at a later date.
Muhaimin Iskandar- Menteri Transmigrasi
Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) meminta Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, dan Pemerintah Provinsi Kalbar serta Pemerintah Kabupten Sanggau untuk mengkaji ulang rencana penempatan 4.000 Kepala Keluarga transmigrasi di sepanjang perbatasan wilayah Kabupaten Sanggau dan Malaysia.
"Pemerintah seharusnya mengevaluasi kondisi terkini daya dukung lahan dan kawasan hutan perbatasan 1.806.172 hektar, Sanggau seluas 143.804 hektar," ujar Deputy Presiden Mejelis Adat Dayak Nasional (MADN) BL Atan Palil di Pontianak pada sejumlah wartawan ,Selasa 12 Maretr 2013.
Menurut dia, saat ini jumlah penduduk Perbatasan Kalbar sekitar 2,3 juta jiwa, dan jumlah penduduk di Kecamatan Sekayam dan Kecmatan Entikong sekitar 85 ribu jiwa. Keberadaan 7 perusahaan HPH/IUPHHK, 3 perusahaan IUHHK HT dan 5 perusahaan sawit yang ada.
"Perlu dievaluasi program transmigrasi yang pernah ada tahun 1986 di sungai Dangin sebanyak 478 KK," katanya.
Sebagian besar kawasan sepanjang perbatasan merupakan kawasan konservasi hutan lindung, hutan produksi terbatas, serta sebagian kecil areal penggunaan lain. "Rencana penempatan transmigrasi akan berdampak secara ekologis terhadap kawasan-kawasan ini," ucapnya.
Dijelaskan olehnya, potensi perambah hutan akan semajin besar, mengingat potensi kayunya memang masih sangat besar. Kerusakan ini akan berdampak pada masyarakat lokal yang secara turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan dan mendapatkan manfaatnya.
Tekanan terhadap besarnya daya dukung lahan akibat aktifitas manusia dengan penempatan 4.000 kk transmigrasi juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan lahan tersebut.
"Keberadaan masyarakat lokal sudah sangat tersesak dengan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit dan HTI pada kawasan areal penggunaan lain. Rencana kegiatan yang memerlukan ruang/wilayah seperti transmigrasi ini, selayaknya memperhatikan pola pemanfaatan ruang yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah provinsi," jelasnya.
Kelestarian lingkungan sumber daya alam, kekayaan budaya lokal serta kearifan lokal tidak mustahil akan tergerus dengan penempatan transmigrasi. Pemaksaan program pembangunan dengan pola top down selayaknya ditinggalkan dan memang sudah tidak boleh dilakukan lagi, dan pembangunan dengan pola bottom up akan lebih menyentuh dan menjawab persoalan real masyarakat.
"Kita semua sepakat, pembangunan itu bertujuan untuk mensejahterakan serta berkesinaambungan, bukan merusak apalagi semakin memarjinalkan masyarakat lokal," kata Atan Palil.
Dijelaskan olehnya, jika kondisi terkini terkait sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sosial ekonomi daan budaya tidak dicermti dengan benar, maka kebijakan top down yang cenderung memaksakan, dapat menimbulkaan persoalan baru bagi eksistensi masyarakat adat dan kawasan perbatasan yang sudah disepakati bersama sebagai teras NKRI.
Sesuai kajian MADN, persentase persoalan yang utama di kawasan perbatasan Kalbar-Malaysia sepanjang 748 KM, yang terbesar adalah rendahnya dukungan pemerintah di sektor pemberdayaan sumber daya alam, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Menyusul rendahnya dukungan pemerintaah di sektor pemberdayaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia, masih menurutnya, diperparah lagi dengan sangat minimnya infrastruktur, ekonomi, seperti transportasi, komunikasi, informasi, dan perbankan.
"Sampai saat ini, cerminan kawasan perbatasan sebagai teras NKRI belum setara dengan perlakuannya dengan teras perbatasan di wilayah Malaysia," ingatnya lagi.
MADN juga berharap pemerintah segera melakukan langkah-langkah perbaikan strategis, khususnya di Kabupaten Sanggau dan kawasan perbatasan lainnya, sebelum melakukan tindakan-tindakan yang antagonisprovokatif yang dapat menimbulkan persepsi dan umpan balik yang dapat merugikan pemerintah di kemudian hari.
"Semua stakeholder sudah sepakat bahwa kawasan perbatasan adalah teras NKRI, tapi dalam melakukan aksinya di lapangan ternyata ego sektoral dominam menonjol, sehingga masyarakat pedalaman akan terus tertekan dan selalu menjadi korban dari setiap kegiatan pembangunan," katanya.
Sudah banyak hasil kajian ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dan instansi teknis lainnya yang merekomendasikan agar di era damai ini, pemerintah mengedepankan pendekatan properity, social-sucurity dan kesetaraan terhadap akses perekonomian masyarakat perbatasan.
RTRWP Kalbar belum final, dan pemaksaan program transmigrasi inididuga akan berdampak pada daya dukung dan beban keseimbangan sumber daya alam dan skosistem yang ada.
"Harapan kami, kegiatan pembangunan di perbatasan yang pro rakyat, pro poor dan pro perbatasan akan semakin jauh panggang dari api,"kata dia.
Peta Kalbar
http://www.aktual.co/ nusantara/ 173647kaji-ulang-prorgam-transm igrasi-di-kalimantan-barat
Muhaimin Iskandar- Menteri Transmigrasi
Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) meminta Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, dan Pemerintah Provinsi Kalbar serta Pemerintah Kabupten Sanggau untuk mengkaji ulang rencana penempatan 4.000 Kepala Keluarga transmigrasi di sepanjang perbatasan wilayah Kabupaten Sanggau dan Malaysia.
"Pemerintah seharusnya mengevaluasi kondisi terkini daya dukung lahan dan kawasan hutan perbatasan 1.806.172 hektar, Sanggau seluas 143.804 hektar," ujar Deputy Presiden Mejelis Adat Dayak Nasional (MADN) BL Atan Palil di Pontianak pada sejumlah wartawan ,Selasa 12 Maretr 2013.
Menurut dia, saat ini jumlah penduduk Perbatasan Kalbar sekitar 2,3 juta jiwa, dan jumlah penduduk di Kecamatan Sekayam dan Kecmatan Entikong sekitar 85 ribu jiwa. Keberadaan 7 perusahaan HPH/IUPHHK, 3 perusahaan IUHHK HT dan 5 perusahaan sawit yang ada.
"Perlu dievaluasi program transmigrasi yang pernah ada tahun 1986 di sungai Dangin sebanyak 478 KK," katanya.
Sebagian besar kawasan sepanjang perbatasan merupakan kawasan konservasi hutan lindung, hutan produksi terbatas, serta sebagian kecil areal penggunaan lain. "Rencana penempatan transmigrasi akan berdampak secara ekologis terhadap kawasan-kawasan ini," ucapnya.
Dijelaskan olehnya, potensi perambah hutan akan semajin besar, mengingat potensi kayunya memang masih sangat besar. Kerusakan ini akan berdampak pada masyarakat lokal yang secara turun temurun hidup di sekitar kawasan hutan dan mendapatkan manfaatnya.
Tekanan terhadap besarnya daya dukung lahan akibat aktifitas manusia dengan penempatan 4.000 kk transmigrasi juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan lahan tersebut.
"Keberadaan masyarakat lokal sudah sangat tersesak dengan pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit dan HTI pada kawasan areal penggunaan lain. Rencana kegiatan yang memerlukan ruang/wilayah seperti transmigrasi ini, selayaknya memperhatikan pola pemanfaatan ruang yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah provinsi," jelasnya.
Kelestarian lingkungan sumber daya alam, kekayaan budaya lokal serta kearifan lokal tidak mustahil akan tergerus dengan penempatan transmigrasi. Pemaksaan program pembangunan dengan pola top down selayaknya ditinggalkan dan memang sudah tidak boleh dilakukan lagi, dan pembangunan dengan pola bottom up akan lebih menyentuh dan menjawab persoalan real masyarakat.
"Kita semua sepakat, pembangunan itu bertujuan untuk mensejahterakan serta berkesinaambungan, bukan merusak apalagi semakin memarjinalkan masyarakat lokal," kata Atan Palil.
Dijelaskan olehnya, jika kondisi terkini terkait sumber daya manusia, sumber daya alam, dan sosial ekonomi daan budaya tidak dicermti dengan benar, maka kebijakan top down yang cenderung memaksakan, dapat menimbulkaan persoalan baru bagi eksistensi masyarakat adat dan kawasan perbatasan yang sudah disepakati bersama sebagai teras NKRI.
Sesuai kajian MADN, persentase persoalan yang utama di kawasan perbatasan Kalbar-Malaysia sepanjang 748 KM, yang terbesar adalah rendahnya dukungan pemerintah di sektor pemberdayaan sumber daya alam, seperti pertanian, perkebunan, perikanan, dan kehutanan.
Menyusul rendahnya dukungan pemerintaah di sektor pemberdayaan sumber daya alam, dan sumber daya manusia, masih menurutnya, diperparah lagi dengan sangat minimnya infrastruktur, ekonomi, seperti transportasi, komunikasi, informasi, dan perbankan.
"Sampai saat ini, cerminan kawasan perbatasan sebagai teras NKRI belum setara dengan perlakuannya dengan teras perbatasan di wilayah Malaysia," ingatnya lagi.
MADN juga berharap pemerintah segera melakukan langkah-langkah perbaikan strategis, khususnya di Kabupaten Sanggau dan kawasan perbatasan lainnya, sebelum melakukan tindakan-tindakan yang antagonisprovokatif yang dapat menimbulkan persepsi dan umpan balik yang dapat merugikan pemerintah di kemudian hari.
"Semua stakeholder sudah sepakat bahwa kawasan perbatasan adalah teras NKRI, tapi dalam melakukan aksinya di lapangan ternyata ego sektoral dominam menonjol, sehingga masyarakat pedalaman akan terus tertekan dan selalu menjadi korban dari setiap kegiatan pembangunan," katanya.
Sudah banyak hasil kajian ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu dan instansi teknis lainnya yang merekomendasikan agar di era damai ini, pemerintah mengedepankan pendekatan properity, social-sucurity dan kesetaraan terhadap akses perekonomian masyarakat perbatasan.
RTRWP Kalbar belum final, dan pemaksaan program transmigrasi inididuga akan berdampak pada daya dukung dan beban keseimbangan sumber daya alam dan skosistem yang ada.
"Harapan kami, kegiatan pembangunan di perbatasan yang pro rakyat, pro poor dan pro perbatasan akan semakin jauh panggang dari api,"kata dia.
Peta Kalbar
http://www.aktual.co/
No comments:
Post a Comment