Wednesday, May 4, 2016

Baroamas Massoeaka Djabang Djanting Balunus


Baroamas Massoeaka Djabang Djanting Balunus
TOKOH DAYAK BORNEO
Selamat jalan Bapak Baroamas Massoeaka Djabang Djanting Balunus, seorang pejuang hebat, budayawan sejati, tokoh masyarakat kalbar yang mulia. 

Meninggal dalam umur 92 tahun (03.05.2016) di Pontianak, beliau orang Dayak Taman Kapuas Hulu, berkeyakinan Khatolik. 

Dimasa hidup, Beliau pernah membantu Sultan Hamid II dalam memberikan saran untuk merancang lambang Elang Rajawali Garuda Pancasila pada tahun 1950 di Hotel Des Indes Jakarta.



Ialah seorang pejuang, sahabat Sultan Hamid II. Beliau pernah menjadi anggota BPH (Badan Pemerintahan Harian) Daerah Istimewa Kalimantan Barat (1946 - 1950), salah satu yang membangun Partai Persatuan Dayak (PPD). pernah berkarir sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) RI dan Instruktur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas).

Sunday, January 17, 2016

GAFATAR DI KALIMANTAN BARAT ( Transmigrasi GAYA BARU ? )


GAFATAR -Gerakan Fajar Nusantara  
DI 
KALIMANTAN BARAT
 ( Transmigrasi GAYA BARU ? )
 Sudah seizin Pemda Tk I/Gubernur ?
 



Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) beraudensi dengan Gubernur Kalbar, Rabu (14/1/2015). Kegiatan ini untuk sosialisasi visi dan misi Gafatar di lingkungan pemerintah daerah.
Kunjungan tersebut dilakukan Pengurus Inti DPD Gafatar Kalimantan Barat. Pada pertemuan itu rombongan diterima Asisten 2 Administrasi, Perekonomian dan Kesos Lensus Kandri.
Dalam pertemuan singkat itu hadir juga perwakilan dari Dinas Kesejahteraan Sosial, Dinas Sosial, dan Kesbangpol Kalimantan Barat. Ketua DPD Gafatar Kalimantan Barat Andi Dendy Kusuma menjelaskan visi dan misi organisasi secara singkat termasuk menyampaikan hal-hal yang telah dan akan dilakukan oleh Gafatar.
Beberapa pertanyaanpun keluar dari masing-masing perwakilan dinas dan Kesbangpol, di antaranya pertanyaan terkait sumber pendanaan kegiatan organisasi, apakah nanti berevolusi dan atau berafiliasi dengan parpol, dan terkait belum dimilikinya Surat Keterangan Terdaftar oleh Gafatar Pusat.
Andi Dendy Kusuma mengatakan awal berdirinya Gafatar hingga saat ini, seluruh kegiatan terlaksana atas dukungan dari pengurus dan anggota melalui iuran sukarela. "Saat deklarasi nasional, Ketua Umum kami menegaskan bahwa Gafatar tidak akan berevolusi menjadi parpol dan tidak akan berafiliasi dengan parpol manapun," katanya.
Lensus Kandri menegaskan, sepanjang Gafatar tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan NKRI tidak ada masalah. "Tentu kami akan membantu dan memfasilitasi Gafatar Kalimantan Barat," katanya.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

BERCITA-CITA SWADAYA: Base camp kelompok masyarakat yang mengaku mantan anggota Gafatar di Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, kemarin. WAHYU ISMIR/PONTIANAK POST


MEMPAWAH – 
Informasi yang dikumpulkan Pontianak Post menyebutkan, sebagian besar orang yang hilang dan diduga terkait dengan organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar)  meninggalkan pesan akan menuju Kalimantan. Termasuk informasi yang didapat penyidik Polda Daerah Istimewa Jogjakarta, yang juga menyebutkan bahwa dokter Rica baru saja menuju sebuah daerah bernama Mempawah di Kalimantan Barat sebelum ditemukan polisi di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.  
Kabupaten Mempawah menjadi salah satu daerah tujuan rombongan warga pendatang yang belakangan diketahui terlibat dalam kelompok Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar). Pontianak Post kemarin melacak keberadaan tujuan eksodus kelompok mantan anggota Gafatar di Kalimantan. Akhirnya ditemukan lokasi perkampungan baru di Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Kecamatan Mempawah Timur, Kabupaten Mempawah, Kalimantan Barat, sebagai tujuan rombongan warga pendatang yang belakangan diketahui terlibat dalam jaringan Gafatar itu. Sekitar pukul 15.00 Pontianak Post tiba di kampung mirip base camp pekerja perkebunan tersebut.
Lokasinya bisa ditempuh dengan sepeda motor kurang lebih 20 menit berkendara. Tidak sulit menemukan lokasi tinggal para anggota Gafatar itu lantaran berada di pinggir jalan beraspal. Apalagi, base camp itu berada di tengah lahan kosong yang luas.Dari pengamatan di lapangan, tak kurang dari 43 hektare lahan tanah gambut menjadi area garapan kelompok Gafatar tersebut. Di atas lahan yang kabarnya telah menjadi hak milik kelompok itu, tampak berdiri sepuluh bangunan yang menyerupai long house perusahaan kelapa sawit atau pabrik untuk tempat tinggal para karyawan.
Pontianak Post pun semakin penasaran ingin melihat secara dekat aktivitas warga yang jumlahnya diperkirakan sebanyak 110 kepala keluarga (KK) dengan lebih dari 300 jiwa itu. Namun, ketika melintas di bagian depan pintu masuk menuju ke dalam perkampungan, tampak sebuah pos penjagaan dilengkapi portal yang terbuat dari kayu. Pengamanan memang begitu ketat terhadap keluar masuknya orang di lokasi base camp tersebut.
Meski demikian, aktivitas para warga yang berada di lingkungan base camp masih cukup terlihat jelas dari pinggir jalan raya. Beberapa anak tampak penuh keceriaan bermain di atas lahan gambut. Ada pula anak yang sedang mandi di dalam parit di pinggir jalan sembari ditemani ibunya yang tampak sedang mencuci piring dan pakaian. Sementara itu, di sisi lain juga terlihat beberapa warga yang sedang melakukan aktivitas cocok tanam. Menggunakan peralatan cangkul dan arit, mereka tampak tekun menanam berbagai jenis sayuran. Bukan hanya itu, di bagian belakang juga terlihat para pekerja menambah bangunan fasilitas ibadah dan tempat tinggal untuk warganya beristirahat.
Benarkah mereka anggota Gafatar? ”Kami memang pernah mengikuti organisasi itu (Gafatar). Namun sekarang sudah keluar dari organisasi itu. Kedatangan kami murni untuk memulai kehidupan yang baru, membantu pemerintah memajukan perekonomian,” tegas Deni, koordinator kelompok tersebut.Lebih jauh Deni menyebut alasan mendasar hijrahnya ratusan KK warga yang tergabung dalam Kelompok Tani Manunggal Sejati itu. Yakni minimnya prospek kerja di tanah Jawa. Deni mengungkapkan bahwa kelompoknya sudah sekitar tiga bulan berada di lokasi tersebut. Meskipun pernah bergabung dengan Gafatar, dia meyakinkan bahwa seluruh anggota kelompoknya sudah tidak menganut ajaran itu.
Saat ini, lanjut Deni, pihaknya sudah mengembangkan sektor pertanian. Meskipun tak selalu mendapat panen melimpah, mereka tidak menyerah dan tetap terus bercocok tanam. Sebab, dari hasil pertanian itulah mereka menghidupi seluruh anggota. ”Makan ya diambil dari hasil pertanian itu. Yang masak juga istri-istri dari kawan-kawan yang sudah diatur waktunya,” ungkap dia.
Tiga Kelompok
Ketua Tim Investigasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mempawah H Supardi A. Kadir mengungkapkan, berdasar informasi yang dihimpun pihaknya, terdapat tiga kelompok warga yang bermigrasi ke Mempawah. Yakni kelompok dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan DI Jogjakarta. Dari tiga kelompok tersebut, sambung Supardi yang juga sekretaris MUI Mempawah, baru satu kelompok dari Jawa Timur yang dikonfirmasi.
Senin lalu (11/1) MUI melakukan pertemuan dengan kelompok yang dikoordinasi Andre dan Supardan selaku investor tersebut. ”Mereka mengaku sudah bertobat dan meninggalkan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah maupun Gafatar yang dulunya dipimpin Ahmad Musadeq,” ujarnya.Masih menurut Supardi yang juga Ketua BKPRMI Kabupaten Mempawah, pada pertemuan tersebut mereka telah menandatangani surat kesepakatan untuk tidak mengamalkan, apalagi menyebarkan, ajaran sesat Gafatar atau Negara Karunia Semesta Alam (NKSA). Jika melakukan hal itu, mereka akan diberi sanksi tegas.

”Jika ada satu orang saja dari kelompok mereka yang terbukti masih mengamalkan ajaran sesat ini, akan kami usir dari Mempawah. Mereka juga harus kembali ke ajaran Islam yang berlandas pada Alquran dan hadis,” tegas Supardi.Seorang pengikut Gafatar berinisial AR bersedia menceritakan pengalamannya sejak sebelum keberangkatan hingga akhirnya tiba di kawasan perjuangan di Kalimantan. ”Kami sudah siap-siap jauh-jauh hari. Setelah melepas semua tanggungan baru berangkat,” kata AS kepada Jawa Pos.
Menurut AR, pengikut Gafatar yang bereksodus dari Pulau Jawa ke Kalimantan menempati banyak wilayah di seluruh provinsi. Mereka disebar di tempat-tempat yang diprospek untuk menjadi basis kegiatan. Sasaran mereka adalah kawasan pelosok yang belum banyak tersentuh tangan manusia.
Pria yang menjadi salah seorang tokoh utama gerakan dari Jawa Timur itu memastikan bahwa Gafatar sebenarnya telah dibubarkan. Pembubaran tersebut merupakan keputusan kongres yang digelar Agustus 2015 di Jogjakarta.Dalam kongres tahunan itu, salah satu pembahasan utamanya adalah kelanjutan organisasi tersebut. Meski sudah empat tahun berdiri, mereka belum juga mendapat pengesahan dari pemerintah. Karena itulah, kongres memutuskan untuk membubarkan Gafatar.

Sejak itu para pengikut berpencar dan tidak terwadahi lagi dalam organisasi bernama Gafatar. Meski begitu, para alumnus Gafatar masih belum bisa menerima pembubaran tersebut. Mereka kemudian menjalin komunikasi antaranggota dan akhirnya sepakat untuk meneruskan aktivitas meski tidak diwadahi organisasi bernama Gafatar.Dari sana mereka sepakat membentuk komunitas yang dinamai kelompok tani. Untuk mengembangkannya, mereka melokalisasi diri ke wilayah pedalaman. Mereka memilih Kalimantan sebagai tempat persebaran. Sampai akhirnya semua provinsi di Pulau Kalimantan dihuni pentolan eks anggota Gafatar.
Sebagai pendatang baru, mereka tidak memunculkan bendera apa pun. Mereka datang seolah-olah sebagai transmigran yang berniat membuka lahan. Mereka mencari lahan gambut yang tidak dikelola dengan baik. Kepada masyarakat setempat, mereka menyewa tanah tidak produktif tersebut untuk diolah menjadi lahan pertanian.
Di sana mereka membuka lahan pertanian dan mendirikan peternakan. Modalnya berasal dari uang saku yang dibawa dari daerah asal setelah menjual semua harta benda. Para pentolan itu berusaha menyewa lahan seluas-luasnya di satu kawasan tertentu. Lahan tersebut disiapkan untuk eks anggota Gafatar yang akan menyusul ke Kalimantan.
Sebelum berangkat, eks Gafatar dilatih ilmu pertanian. Pelatihan pertanian itu dilakukan sembari para eks Gafatar tersebut menyelesaikan semua urusan sebelum semuanya ditinggalkan. Misalnya menjual rumah dan asetnya. Setelah semuanya terjual, mereka baru bersiap berangkat ke Kalimantan. ”Saya jual rumah. Saya bawa Rp 400 jutaan,” ucapnya.
AR mengaku menempati lahan gambut yang belum diapa-apakan. Dia menempatinya tidak gratis. Tapi menyewa dari penduduk setempat untuk beberapa tahun ke depan sesuai perjanjian. ”Pertama kali, kami bangun rumah petak,” ucapnya.
Rumah yang dibangun sangat sederhana. Rumah petak dipilih karena ditempati banyak orang. Sebab, yang melakukan eksodus ke Kalimantan bukan dia saja. Ada banyak keluarga lainnya. Dia menggambarkan tempat tinggalnya seperti tempat pengungsian yang dilengkapi dapur umum.AR mengatakan, sejak awal Gafatar peduli terhadap bangsa. Saat ini perjuangannya dilakukan dengan cara mengembangkan sektor pangan lewat membuka lahan pertanian dan peternakan. ”Bayangkan kalau negara tempat Indonesia biasanya impor tidak panen. Pasti di sini susah pangan,” ujarnya.

Disinggung tentang paham yang diajarkan di Gafatar, AR menolak menjelaskan secara detail. Hanya, dia mengakui bahwa kepercayaannya menganut kembali pada ajaran Abraham. ”Abraham kan bapaknya para nabi,” ucapnya. Dia kemudian menukil dua ayat Alquran yang dianggap sebagai dalilnya.Menurut AR, ajaran utama gerakan eks Gafatar adalah kembali kepada kehidupan alam semesta. Karena itulah, tidak ada satu kitab suci khusus yang dijadikan pegangan. Dia menyebutkan, kitab sucinya adalah Injil dan Alquran yang kemudian diaplikasikan dengan alam semesta.
Ditanya tentang kenabian, AR terdiam sesaat. ”Saya repot jawabnya. Tergantung yang menjabarkan,” kata dia. Hanya, yang menjadi salah satu paham utamanya adalah rasul akan muncul setiap 700 tahun sekali.Apakah Ahmad Musadeq, eks pemimpin Al Qiyadah Al Islamiyah, rasulnya? AR menanggapi dengan tertawa. Bagi dia, Musadeq adalah pemberi inspirasi yang mengajarkan banyak hal dan diakui sebagai kebenaran.
AR juga membantah isu bahwa eks Gafatar melakukan penculikan untuk merekrut pengikut. Menurut dia, semua pengikut bergabung berdasar kerelaan meskipun mereka sudah memiliki suami maupun istri. ”Kalau memang sudah kemauan sendiri, masak harus ditentang?” ucapnya.Termasuk dokter Rica yang keberadaannya terlacak belum lama ini. Menurut AR, dokter tersebut bergabung atas kemauan sendiri. Termasuk Erri Indra Kautsar, mahasiswa D-3 Elektronika Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) yang dinyatakan hilang sejak Agustus 2013. ”Erri masih berkomunikasi sama keluarganya. Mereka tahu kok Erri di mana. Masak itu penculikan?” dalihnya. (wah/jpg)
 
 
 
 Sumber:
  1. http://pontianak.tribunnews.com/2015/01/16/gafatar-audiensi-pemprov-kalbar ;
  2.   http://www.pontianakpost.com/gafatar-bubar-jadi-kelompok-tani;

Saturday, January 16, 2016

DUGING ANAK GUNGGU REINVENTED THE IBAN LETTERS (1904-1985)


DUGING ANAK GUNGGU REINVENTED 
THE IBAN LETTERS
(1904-1985)






Bagi banyak orang Indonesia, aksara Dayak Iban mungkin kedengaran asing sekali. Namun, aksara yang lahir di wilayah Borneo  ini memang ada di dunia—dan amat patut diapresiasi.
Orang Dayak Iban, dahulu kala telah memiliki aksara. Alkisah Renggi, nenek moyang mereka, melarikan diri dari banjir besar dari daerah Kapuas Hulu- dataran rendah ke daerah Gunug Niut Sarawak, sembari membawa kulit kayu berisi aksara Iban. Tetapi karena terkena air, aksara yang tertulis pada kulit kayu itu pun hilang. Renggi lalu menelan kulit kayu itu dan sejak saat itulah orang Iban jadi mahir menuturkan cerita-cerita tradisi mereka berdasarkan hafalan.
Syukurlah saat ini orang Iban tidak hanya bisa menuturkan cerita-cerita tradisi mereka, tetapi juga bisa menuliskannya. Dunging Anak Gunggu (1904-1985), sosok Iban jenius asal Serawak, Malaysia Timur, menciptakan aksara Dayak Iban pada tahun 1947. Berpikir untuk melestarikan bahasa Iban lewat aksara, ia menciptakan 77 simbol yang mewakili bunyi-bunyi dalam bahasa Iban dan kemudian menyederhanakannya menjadi 59 simbol.2 Berkat jasanya, aksara Dayak Iban disebut juga “aksara Dunging.”
Dunging Anak Gunggu mulanya mengajarkan simbol-simbol itu kepada keponakannya. Orang-orang lain dari sukunya hanya menaruh minat sedikit kepada aksara ciptaannya. Pemerintah kolonial Inggris sempat meminta Dunging mengajarkan aksara itu kepada masyarakat Iban lewat jalur pendidikan formal. Namun, usaha ini berumur pendek saja karena ia tidak bisa menyetujui beberapa syarat dalam mengajarkan aksara ciptaannya. Pengajaran pun tidak berlanjut dan aksara Dayak Iban “hilang” sekali lagi.
Kemunculan kembali aksara Dayak Iban di dunia mungkin bisa dikatakan bermula pada tahun 1981, ketika terbit kamus Iban-Inggris susunan Anthony Richards yang mengakui karya Dunging.


Pada tahun 1990, Bagat Nunui, anak angkat Dunging, mengumpulkan berbagai hal tentang aksara ini dalam sebuah buku yang tidak dipublikasikan. Pada tahun 2001, Yayasan Tun Jugah menerbitkan ensiklopedia Dayak Iban yang memuat informasi tentang aksara buatan Dunging. Hari ini Dr. Bromeley Philip, seorang cucu-keponakan Dunging, menggalakkan pelestarian aksara Dayak Iban dengan menulis buku dan mengajar mata kuliah mengenainya.



Upaya pelestarian itu disambut baik oleh pemerintah Malaysia, sampai-sampai aksara ciptaan Dunging diajarkan pula kepada masyarakat non-Dayak Iban melalui kampus, sekolah dasar, serta forum-forum terkait aksara.4 Hebatnya lagi, sekarang sudah ada perangkat lunak untuk menulis aksara Dayak Iban, yakni Laser Iban.5
Pengguna aksara Dayak Iban memang lebih banyak tinggal di Malaysia daripada di Indonesia. Jumlah keseluruhan suku Iban di Malaysia, Indonesia, dan Brunei adalah 700.000 jiwa, dan hanya 15.000 jiwa yang berada di Indonesia. Namun, jumlah yang sedikit ini seharusnya tidak mengecilkan semangat untuk mempelajari aksara Dayak Iban. Memiliki aksara saja sudah menjadikan suku Iban istimewa, karena tidak semua suku Nusantara memiliki aksara.
Sayangnya, dalam hal ini, pemerintah Indonesia masih kurang menaruh perhatian. Bahkan studi pustaka tentang Dayak Iban pun hanya mungkin dilakukan di Kuching, Sarawak, bukan di manapun di tanah air.6 Pemerintah Indonesia, khususnya Pemerintah Kalimantan Barat (tempat orang Dayak Iban Indonesia berada) perlu belajar dari keseriusan pemerintah Malaysia supaya dapat pula melestarikan, bahkan mengembangkan, aksara suku-suku Nusantara. Dalam hal aksara Dayak Iban, tugas pemerintah Indonesia sudah lebih mudah karena banyak hal sudah dilakukan pemerintah Malaysia.
Aksara karya Dunging tak dapat tidak menambahkan keunikan pada suku Iban. Tan Sri William Mawan, Menteri Pembangunan Sosial Malaysia, bahkan menyatakan bahwa aksara Dayak Iban merupakan simbol pamungkas identitas suku Iban di dunia.7 Aksara hebat ini mengajarkan hal penting tentang kekreatifan serta kepedulian kepada ungkapan budaya suku (seperti bahasa).
Kiranya semangat Dunging Anak Gunggu mengilhami suku-suku di Nusantara untuk memelihara ungkapan budaya baik yang sudah dimiliki, bahkan untuk mencipta ungkapan budaya baru—seperti aksara—untuk menunjang semua yang baik yang sudah dimiliki itu.



Catatan
1 Churchill Edward. “‘Long lost’ Iban alphabet script found” dalam situs The Borneo Post. <http://www.theborneopost.com/2012/06/20/long-lost-iban-alphabet-script-found/>.
2 Bromeley Philip. “Some background info on the alphabet” dalam situs Iban Alphabet <http://ibanalphabet.blogspot.com/2010/02/some-background-info-on-alphabet.html>.
3 Bromeley Philip. “Iban Alphabet: A Revival” dalam situs Research Management Institute. <http://www.rmi.uitm.edu.my/rmi-research-news/242.html>.
4 Vyonne Edwin, Alvin W. Yeo, Sarah Flora Juan, dan Beatrice Chin. Employing Information and Communication Technologies in the Revitalization and Maintenance of Indigenous Languages of Sarawak. Malaysia: Universiti Malaysia Sarawak, 2010, hal. 3.
5 Bromeley Philip. “Iban Alphabet: A Revival.”
6 “Di Bawah Dua Bangsa Penjajah“ dalam Kompas terbitan 14.08.2009.
7 Churchill Edward. “Dunging Alphabet helps Iban stand tall” dalam situs The Borneo Post. <http://www.theborneopost.com/2012/06/19/dunging-alphabet-helps-iban-stand-tall/>.

Friday, January 15, 2016

CONFLICT AND VIOLENCE IN WEST KALIMANTAN


KONFLIK  DAN  KEKERASAN DI KALIMANTAN  BARAT 


 Konflik 1997

Menurut Prof Dr Syarif Ibrahim Alkadrie, M.Si tentang periodenisasi konflik di Kalimantan Barat adalah 30 tahun sekali - 1930an, 1960an, 1990an dan 2020.
Jika tidak diantisifasi maka konflik etnis, agama dan sosial berpotensi muncul lebih dasyat.
Mengapa 2020 ? ( Menurut penulis )
1. Perebutan pimpinan - Gubernur 2018;
2. Konflik Dayak-Melayu ( ekses dari pilkada 2018 );
3. Konflik Dayak-Jawa ( Ekses migrasi yang masif );
4. Konflik Dayak ( petani ) dan perusahaan. 
Konflik 2 dan 3 berpeluang besar, dibanding konflik 4.

Mencegah konflik.
1. Mengakomodir etnis pada suksesi Kada 2018;
2. Membangun yang pro masyarakat lokal, dan tampa
    mengabaikan masyarakat pendatang; 
3. Perusahaan mengakomodir pekerja lokal, dan
    mengembangkan pola kemitraan ( plasma ). 
Saya yakin apa yang menjadi hypotesis Prof Syarif, tidak akan terbukti jika ketiga poin ini dilaksanakan.
Moga Kalimantan ( Borneo ) tetap aman. 


 

According to Prof. Dr. Sharif Ibrahim Alkadrie, M.Si about the period of conflict in West Kalimantan is 30 years - 1930, 1960, 1990 and 2020.

If not anticipated 'the conflict between ethnic, religious and social potential to emerge more powerful.

Why 2020? (According to the author)

1. The struggle for leadership - Governor in 2018;

2. Conflict Dayak-Malay (excesses of the elections 2018);

3. Conflict Dayak-Java (excess massive migration);

4. Conflict Dayak (farmers) and companies.

Conflict 2 and 3 has a great opportunity, rather than conflicts 4.



Prevent conflict.

1. Accommodate ethnic succession Regional Head in 2018;

2. Develop pro local communities, and without

    ignore the migrant communities;

3. The company accommodate local workers, and

    develop a partnership (plasma).

I believe
 the hypothesis of Prof Sharif, will not prove if the three points was implemented.



 

Wednesday, January 13, 2016

FACE OF THE WORLD IN THE END OF 2015 ?



FACE  OF THE WORLD IN THE END OF 2015 ?


KAYAU -“Psychology of Good and Evil”


KAYAU -“Psychology of Good and Evil”

 
Endang Mariani Rahayu

Panglima Dayak

Sebab kasus SAMPIT ?,
Banyak sebab yang membuat suku Dayak seakan melupakan asazi manusia, baik langsung maupun tidak langsung. Masyarakat suku Dayak di Sampit selalu terdesak dan selalu mengalah. Dari kasus dilarangnya menambang intan di atas tanah adat mereka sendiri karena dituduh tidak memiliki izin penambangan. Hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari para penebang kayu yang mendesak mereka makin ke dalam hutan. Sayangnya, kondisi ini diperburuk lagi oleh ketidakadilan hukum yang seakan tidak mampu menjerat pelanggar hukum yang menempatkan masyarakat Dayak menjadi korban kasus-kasus tersebut.
Tidak sedikit kasus pembunuhan orang dayak (sebagian besar disebabkan oleh aksi premanisme Etnis Madura) yang merugikan masyarakat Dayak karena para tersangka (kebetulan orang Madura) tidak bisa ditangkap dan di adili oleh aparat penegak hukum.
(   http://adminkece.blogdetik.com/2012/04/03/awal-mula-terjadinya-tragedi-sampit/  )


 Endang Mariani Rahayu

Penulis: Dara Adinda Kesuma Nasution

Memahami Konflik Sampit Lewat Perspektif “Psychology of Good and Evil”
Senin (11/1/2016), Fakultas Psikologi UI menggelar sidang promosi doktor terhadap Endang Mariani Rahayu dengan disertasi berjudul “Ketika Kayau menjadi Pilihan: Memahami Peran Arketipe dan Skrip Budaya dalam Mengubah Orang Biasa Menjadi Pelaku Kayau”. Sidang terbuka yang dilaksanakan di Gedung H Fakultas Psikologi ini dipimpin oleh Dekan Fakultas Psikologi UI, Dr. Tjut Rifameutia Umar Ali, M.A.
Tradisi kayau yang menjadi objek kajian Endang merupakan tradisi perburuan kepala manusia (headhunting) yang dilakukan oleh suku Dayak di Kalimantan. Dalam disertasinya, Endang mengulas bagaimana tradisi kayau yang telah ditinggalkan sejak Rapat Damai Tumbang Anoi tahun 1894 karena dianggap mengandung unsur kekejaman ini kembali dipraktikkan pada konflik antarsuku di Sampit tahun 2001.
Penelitian yang menggunakan paradigma psychology of good and evil ini juga mencoba menjelaskan apa yang membuat orang-orang biasa (ordinary people) dapat melakukan tindakan kayau yang dalam konteks budaya masa kini dipersepsi sebagai tindakan di luar batas kemanusiaan.
“Tesis yang saya ajukan adalah bahwa dalam situasi konflik, di saat identitas kolektif dan kolektif emosi lokal diaktivasi, maka sebuah arketipe budaya yang mengandung ide jahat, yang telah “tidur” (dormant) lebih dari satu abad dapat bangkit kembali dan membatasi pilihan alternatif tindakan dalam pemencahan masalah,” tutur Endang.
Dengan kata lain, memori kolektif masyarakat Dayak tentang kayau ini berperan mengubah orang biasa dan bukan perilaku kriminal menjadi orang yang mampu bertindak luar biasa kejam. Pembentukan memori kolektif ini dapat terjadi karena ide tentang kayau masih direproduksi dari generasi ke generasi lewat dongeng pengantar tidur yang disampaikan oleh orang tua kepada anaknya.
Oleh karena itu, Endang menyarankan untuk melakukan penggantian konten narasi yang diceritakan. “Sulit untuk melarang proses reproduksi narasi ini karena sudah turun temurun. Namun, konten narasi bisa diganti dengan kearifan lokal karena suku Dayak bukan punya budaya konflik aja, tapi juga kisah-kisah integrasi,” ujar Endang.
Setelah mempertahankan disertasinya, Tim Penguji memutuskan mengangkat Endang sebagai doktor ke-115 Fakultas Psikologi UI dengan predikat sangat memuaskan. Perempuan kelahiran 1966 ini berhasil menyelesaikan masa studinya dengan IPK 3,89. Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si selaku Promotor mengungkapkan, “Ini studi terbaik yang pernah saya bimbing. Bisa dikatakan, disertasi ini merupakan penelitian psikologi pertama tentang psychology of good and evil di Indonesia.”

 Kepala Kayau



Tuesday, January 12, 2016

FOREIGNERS IN SABAH - FROM SULAWESI AND THE PHILIPPINES



FOREIGNERS IN SABAH - FROM SULAWESI AND THE PHILIPPINES 

WARGA ASING DI SABAH- DARI  SULAWESI  DAN PILIPINA

Persentase  Warga Asing di Sabah telah meningkat paling mendadak dari 7.1% pada tahun 1960 ke 27.8% pada tahun 2010.


Sabah kaya dengan berbilang kaum dan budaya, dengan 32 bangsa utama yang dikenalpasti secara rasmi di Negeri Di Bawah Bayu ini.
1). Bangsa Kadazan Dusun kaum terbesar di Sabah;
2). bangsa Bajau, 

3). Cina, 
4). Melayu dan 
5). Murut. 

Data statistik populasi Sabah untuk tahun 1960 dan statistik populasi Sabah tahun 2010 ( Dalam waktu  50 tahun).






Bangsa Kadazan Dusun ialah bangsa terbesar di Sabah. Namun begitu, dalam masa 50 tahun (antara 1960 dan 2010) peratusan bangsa Kadazan Dusun di kalangan penduduk Sabah telah jatuh dari 31.9% pada 1960 ke 17.7% pada 2010.

Bangsa Cina juga telah mengalami kejatuhan besar dalam peratusan penduduk di Sabah dari 23.1% pada 1960 ke 9.2% pada 2010. Bangsa Murut juga mengalami kejatuhan peratusan dari 4.9% (1960) ke 3.2% (2010).

Bangsa Bajau mengalami peningkatan dalam peratusan penduduk di Sabah (dari 13.2% ke 14%) untuk tempoh yang sama. Begitu juga bangsa Melayu mengalami peningkatan dari 0.4% ke 5.8%. Demikian juga Bumiputera Lain yang merupakan 17% pada tahun 1960 menjadi 20.6% penduduk Sabah pada 2010.

Peratusan Warga Asing di Sabah telah meningkat paling mendadak dari 7.1% pada tahun 1960 ke 27.8% pada tahun 2010. Untuk maklumat lebih lanjut, sila rujuk carta dan rajah Taburan Penduduk Sabah 1960 dan 2010 di bawah.

(Statistik 1960 telah dirumus dari dua sumber iaitu British North Borneo (1961) dan Annual Bulletin of Statistics, Sabah, 1965. Statistik 2010 pula diambil dari Banci Penduduk dan Perumahan Malaysia 2010 yang dikeluarkan Jabatan Perangkaan Malaysia)

@ http://domba2domba.blogspot.co.id/2012/12/tahukah-anda-populasi-sabah-mengikut.html