Friday, January 11, 2013

History of the struggle of the Dayak Borneo


History of the struggle of the Dayak Borneo

Sejarah Perjuangan Suku Dayak Borneo

E-mail Cetak PDF
Sejarah Singkat

Lambang PD

Sebelum abad XIV, daerah Kalimantan Tengah termasuk daerah yang masih murni, belum ada pendatang dari daerah lain. Saat itu satu-satunya alat transportasi adalah perahu. Tahun 1350 Kerajaan Hindu mulai memasuki daerah Kotawaringin. Tahun 1365, Kerajaan Hindu dapat dikuasai oleh Kerajaan Majapahit. Beberapa kepala suku diangkat menjadi Menteri Kerajaan.
Tahun 1620, pada waktu pantai di Kalimantan bagian selatan dikuasai oleh Kerajaan Demak,  agama Islam mulai berkembang di Kotawaringin. Tahun 1679 Kerajaan Banjar mendirikan Kerajaan Kotawaringin, yang meliputi daerah pantai Kalimantan Tengah. Daerah-daerah tersebut ialah : Sampit, Mendawai, dan Pembuang. Sedangkan daerah-daerah lain tetap bebas, dipimpin langsung oleh para kepala suku, bahkan banyak dari antara mereka yang menarik diri masuk ke pedalaman.
Di daerah Pematang Sawang Pulau Kupang, dekat Kapuas, Kota Bataguh pernah terjadi perang besar. Perempuan Dayak bernama Nyai Undang memegang peranan dalam peperangan itu. Nyai Undang didampingi oleh para satria gagah perkasa, diantaranya Tambun, Bungai, Andin Sindai, dan Tawala Rawa Raca. Di kemudian hari nama pahlawan gagah perkasa Tambun Bungai, menjadi nama Kodam XI Tambun Bungai, Kalimantan Tengah.

 
Peta Kekuasaan VOC

Tahun 1787, dengan adanya perjanjian antara Sultan Banjar dengan VOC, berakibat daerah Kalimantan Tengah, bahkan nyaris seluruh daerah, dikuasai VOC. Tahun 1917, Pemerintah Penjajah mulai mengangkat masyarakat setempat untuk dijadikan  petugas-petugas pemerintahannya, dengan pengawasan langsung oleh para penjajah sendiri. Sejak abad XIX, penjajah mulai mengadakan ekspedisi masuk pedalaman Kalimantan dengan maksud untuk memperkuat kedudukan mereka. Namun penduduk pribumi, tidak begitu saja mudah dipengaruhi dan dikuasai. Perlawanan kepada para penjajah mereka lakukan hingga abad XX. Perlawanan secara frontal, berakhir tahun 1905, setelah Sultan Mohamad Seman terbunuh di Sungai Menawing   dan dimakamkan di Puruk Cahu.
Tahun 1835, Agama Kristen Protestan mulai masuk ke pedalaman. Hingga Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, para penjajah tidak mampu menguasai Kalimantan secara menyeluruh. Penduduk asli tetap bertahan dan mengadakan perlawanan.

Pada Agustus 1935 terjadi pertempuran antara suku Dayak Punan yaitu Oot Marikit dengan kaum penjajah. Pertempuran diakhiri dengan perdamaian di Sampit antara Oot Marikit dengan menantunya Pangenan atau Panganon dengan Pemerintah Belanda.
Menurut Hermogenes Ugang , pada abad ke 17, seorang misionaris Roma Katholik bernama Antonio Ventimiglia  pernah datang ke Banjarmasin. Dengan perjuangan gigih dan ketekunannya hilir-mudik mengarungi sungai besar di Kalimantan dengan perahu yang  telah dilengkapi altar untuk mengurbankan Misa,  ia  berhasil membapbtiskan tiga ribu orang Ngaju menjadi Katholik.  Pekerjaan beliau dipusatkan di daerah hulu Kapuas (Manusup) dan pengaruh pekerjaan beliau terasa sampai ke daerah Bukit. Namun, atas perintah Sultan Banjarmasin, Pastor Antonius Ventimiglia kemudian dibunuh. Alasan pembunuhan adalah karena Pastor Ventimiglia sangat mengasihi orang Ngaju, sementara saat itu orang-orang Ngaju mempunyai hubungan yang kurang baik dengan Sultan Banjarmasin.
Dengan terbunuhnya Pastor Ventimiglia maka beribu-ribu umat Katholik orang Ngaju yang telah dibapbtiskannya, kembali kepada iman asli milik leluhur mereka. Yang tertinggal hanyalah tanda-tanda salib yang pernah dikenalkan oleh Pastor Ventimiglia kepada mereka. Namun tanda salib tersebut telah kehilangan arti yang sebenarnya. Tanda salib hanya menjadi benda fetis (jimat) yang berkhasiat magis sebagai penolak bala yang hingga saat ini terkenal dengan sebutan  lapak lampinak dalam bahasa Dayak atau cacak burung dalam bahasa Banjar.
Di masa penjajahan, suku Dayak di daerah Kalimantan Tengah, sekalipun telah bersosialisasi  dengan pendatang, namun tetap berada dalam lingkungannya sendiri.


Koran

Tahun 1919, generasi muda Dayak yang telah mengenyam pendidikan formal, mengusahakan kemajuan bagi masyarakat sukunya dengan mendirikan Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, yang dipelopori oleh Hausman Babu, M. Lampe , Philips Sinar, Haji Abdulgani, Sian, Lui Kamis , Tamanggung Tundan, dan masih banyak lainnya. Serikat Dayak dan Koperasi Dayak, bergerak aktif hingga tahun 1926. Sejak saat itu, Suku Dayak menjadi lebih mengenal keadaan zaman dan mulai bergerak.
Tahun 1928, kedua organisasi tersebut dilebur menjadi Pakat Dayak, yang bergerak dalam bidang sosial, ekonomi dan politik. Mereka yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut ialah Hausman Babu, Anton Samat, Loei Kamis. Kemudian dilanjutkan oleh Mahir Mahar, C. Luran, H. Nyangkal, Oto Ibrahim, Philips Sinar, E.S. Handuran, Amir Hasan, Christian Nyunting, Tjilik Riwut, dan masih banyak lainnya. Pakat Dayak meneruskan perjuangan, hingga bubarnya pemerintahan Belanda di Indonesia.


Oevang Oeray

Tahun 1945
, Persatuan Dayak yang berpusat di Pontianak, kemudian mempunyai cabang di seluruh Kalimantan, dipelopori oleh  J. Uvang Uray ,  F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden.

Pada tahun 1959, Persatuan Dayak bubar,  kemudian bergabung dengan PNI dan Partindo. Akhirnya Partindo Kalimantan Barat meleburkan diri menjadi IPKI. Di daerah Kalimantan Timur berdiri Persukai atau Persatuan Suku Kalimantan Indonesia dibawah pimpinan Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, dan masih banyak  lainnya.

Pakat Dayak

Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pada tahun 1937, generasi muda Kalimantan yang telah mengenyam pendidikan formal, mengerti dan mengikuti perkembangan zaman, mengadakan pertemuan untuk membicarakan  segala sesuatu mengenai urusan suku Dayak dan urusan tanah Dayak sendiri. Pertemuan ini diadakan karena mereka  merasa prihatin akan situasi dan keadaan masyarakat sukunya. Dalam segala raad-raad atau komite-komite yang diadakan oleh pihak pemerintah Belanda, ataupun pihak partikulir, orang-orang dari suku Dayak tidak pernah diberi kesempatan untuk duduk di situ, walau kenyataannya poin pembicaraan adalah urusan tanah Dayak sendiri. Wakil Kalimantan di Volksraad Pejambon, juga tidak memberikan perhatian sehingga keinginan rakyat Dayak tidak pernah terdengar sampai Pejambon.
Kemudian didirikan suatu komite yang diberi nama Komite Kesadaran Suku Dayak. Tujuan utama pendirian ialah untuk menuntut hak dan kedudukan dalam Sidang Dewan Rakyat serta mengobarkan semangat suku Dayak akan nasib tanah airnya. Komite ini telah  mengumpulkan beribu-ribu tanda tangan dari seluruh suku Dayak, baik yang berdomisili di Kalimantan, maupun yang sedang merantau, untuk meminta kedudukan dalam Dewan Rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Agung.

Maksud dan Tujuan Pendirian Pakat Dayak

Maksud dan tujuan pendirian Pakat Dayak, seperti tersebut dalam Anggaran Dasar, pasal 2  dan 3, adalah sebagai berikut:

Pasal 2
Dasar
Perhimpunan ini berdasar pada persatuan suku Dayak dengan mengindahkan persamaan hak dan kewajiban. Maksud persatuan ini ialah penggabungan seluruh suku Dayak, hingga merupakan satu golongan yang besar dan teratur.

Pasal 3
Tujuan
a.    Mengejar ketinggalan derajat suku, baik dalam soal politik, sosial dan ekonomi.
b.    Persatuan seluruh suku Dayak
c.    Mengejar segala hak-hak yang diakui oleh Hukum Negara.
d.    Mempertinggi kembali Adat Leluhur, serta Kebudayaan Suku.

Terlihat dari pernyataan tersebut bahwa perhimpunan Pakat Dayak bukan perhimpunan keagamaan, sehingga siapapun yang merasa seorang Dayak berhak menjadi anggota.
Dalam usianya yang keempat, Pakat Dayak telah beranggotakan empat ribu lima ratus orang. Cabangnya tersebar di Dusun Timur, Barito, Kapuas, Kahayan, Samarinda, Pontianak, Katingan, Mentaya, Pangkalan Bun, Sebangau, Seruyan, bahkan dua cabang berada di Jawa. Dalam waktu singkat, Pakat Dayak telah mampu membangun 9 buah sekolah serta berpuluh-puluh warung kecil.
____________________________________________
A Brief History

Before the XIV century, Central Kalimantan, including areas that are still pristine, no migrants from other regions. At that time the only means of transportation is by boat. Hindu kingdom in 1350 Kotawaringin began entering the area. In 1365, can be controlled by the Hindu kingdom of Majapahit Kingdom. Some chiefs appointed Minister of the Kingdom.
In 1620, when the southern coast of Borneo ruled by the kingdom of Demak, Islam began to flourish in Kotawaringin.

In 1679 founded the kingdom kingdom of Banjar Kotawaringin, which includes the coastal areas of Central Kalimantan.
These areas are: Sampit, Mendawai, and Wasters. While other areas remained free, led by the chiefs, and even many of those who withdrew into the interior.

In the area of ​​Causeway Sawang Kupang Island, near the Kapuas, City Bataguh ever a major war. Dayak woman named Nyai Law plays a role in that war. Nyai Act was accompanied by the gallant knights, including Tambun, Bungai, andin Sindai and Tawala Swamp Raca. At a later date the name Tambun Bungai gallant hero, a name Kodam Tambun Bungai XI, Central Kalimantan.

In 1787, with the agreement between the Sultan of Banjar with VOCs, resulting in Central Kalimantan, almost all regions, controlled VOC. In 1917, the government began to lift the occupation of local people to become government officials, with direct supervision by the colonists themselves. Since the nineteenth century, the invaders started to enter the interior of Borneo expedition in order to strengthen their position. But the indigenous population, not just easily influenced and controlled. Resistance to the occupation they did until the twentieth century. Frontal resistance, ended in 1905, after Sultan Mohamad Seman River Menawing killed and buried in Puruk Cahu.

In 1835, Protestant Christianity began to enter into the interior. Until the proclamation of Indonesian independence, August 17, 1945, the invaders are not able to control the overall Kalimantan. Indigenous peoples to survive and hold resistance. In August 1935 there was a battle between the Punan Dayak tribe Oot Marikit with the colonizers. The battle ended with a peace between Oot Marikit Sampit with Pangenan law or Panganon by the Dutch Government.

According to Hermogenes Ugang, in the 17th century, a Roman Catholic missionary named Antonio Ventimiglia ever come to Banjarmasin. With persistent struggle and perseverance and forth across the river in Borneo big boat that has been fitted with an altar for the sacrifice of the Mass, he managed membapbtiskan Ngaju three thousand people became Catholic. His job is centered in the upper Kapuas (Manusup) and the influence of his work was up to the hill. However, on the orders of Sultan Banjarmasin, Father Anthony Ventimiglia then killed. The reason for the killing was because the Father loves Ventimiglia Ngaju, while at that time the people Ngaju have a poor relationship with the Sultan of Banjarmasin.
With the killing of Father Ventimiglia thousands of Catholics who have baptized Ngaju people, back to the original faith of their ancestors. What remains is the sign of the cross once introduced to them by Pastor Ventimiglia. But the sign of the cross has lost its true meaning. Sign of the cross just became fetishes objects (amulets) is efficacious as a repellent reinforcements magical that until now known as shanties lampinak Dayak language or in the language of Banjar bird upright.


Orang Dayak menandu Sultan dan VOC


In the colonial period, the Dayak in Central Kalimantan, even after socializing with outsiders, but remain in their own environment.

In 1919,
young Dayak have a formal education, seek advancement for the people of his tribe to establish and Cooperative States Dayak Dayak, which was pioneered by Hausman Babu, M.
Lampe, Ray Philips, Haji Abdul Gani, Sian, Lui Thursday Tamanggung Tundan, and many more. Dayak Dayak unions and cooperatives, moving on until 1926. Since then, the Dayak people become more familiar with the circumstances of the times and start moving.

In 1928, the two organizations merged into Pakat Dayak, who is engaged in social, economic and political. They are actively involved in these activities is Hausman Babu, Anton Samat, Loei Thursday. Then proceed by Mahir Mahar, C. Luran, H. Denied, Oto Ibrahim, Philips Light, E.S. Handuran, Amir Hasan, edited the Christian, Tjilik Riwut, and many more. Pakat Dayak continue the struggle, until the dissolution of Dutch rule in Indonesia.
In 1945, Dayak Unity based in Pontianak, and has branches all over Borneo, led by J. Uvang Uray, F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden.

In 1959, Dayak Unity dissolved, then joined PNI and Partindo.
Finally Partindo West Kalimantan merged into IPKI. In the area of ​​East Kalimantan stand Persukai or Tribal Unity Kalimantan Indonesia led Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, and many more.


Dayak Pakat

As mentioned earlier, in 1937, the younger generation of Borneo have a formal education, understand and keep abreast of the times, held a meeting to discuss all things about affairs and affairs of Dayak Dayak land itself. This meeting was called because they are concerned about the situation and the circumstances of his tribe. In all raad-raad or committees organized by the Dutch government, or the partikulir, the people of the Dayak tribe was never given the opportunity to sit on it, despite the fact that talking points are Dayak own land affairs. Deputy Borneo Pejambon Volksraad, also was not paying attention so desire Dayak people have never heard until Pejambon.
Then set up a committee called the Dayak Awareness Committee. The main objective is to demand the right of establishment and the position of the Council of People's Councils and rekindle the spirit of the Dayak tribe the fate of his homeland. This committee has collected thousands of signatures from around the Dayak tribe, both domiciled in Borneo, as well as those looking to go abroad, to ask for a position in the Council submitted to the Government of the People's Court.

Aims and Objectives Establishment Dayak Pakat

The purpose and objectives of establishment Pakat Dayak, as mentioned in the Articles of Association, Articles 2 and 3, are as follows:

Article 2
Base

Society is based on the Dayak unity with regard equal rights and obligations. The purpose of this union is to merge all the Dayak tribe, to constitute a large and organized group.

Article 3
Destination

a. Catch up with the degree of interest, both in terms of political, social and economic.
b. Whole tribe Dayak Unity
c. Pursue all rights recognized by State Law.
d. Enhance re Indigenous Ancestors and Cultural Interest.

Seen from the statement that the association is not Pakat Dayak religious associations, so anyone who feels entitled to become a member of a Dayak.
In the age of four, Pakat Dayak has consisted of four thousand five hundred. Branches spread in the East Village, Barito, Kapuas, Kahayan, Samarinda, Pontianak, Katingan, Mentaya, Pangkalan Bun, Sebangau, Seruyan, even two branches are located in Java.

In a short time, Pakat Dayak   has been able to build 9 schools and dozens of small shops.



Een korte geschiedenis
Voor de XIV eeuw, Centraal Kalimantan, met inbegrip van gebieden die nog steeds ongerepte, geen migranten uit andere regio's. Op dat moment het enige middel van vervoer is per boot. Hindoe koninkrijk in 1350 Kotawaringin begon in het gebied. In 1365, kan worden gecontroleerd door de Hindoe koninkrijk van Majapahit Koninkrijk. Sommige leiders benoemd tot minister van het Koninkrijk.In 1620, toen de zuidelijke kust van Borneo geregeerd door het koninkrijk van Demak, de islam begon te bloeien in Kotawaringin. In 1679 stichtte het koninkrijk koninkrijk van Banjar Kotawaringin, die de kustgebieden van Centraal-Kalimantan omvat. Deze gebieden zijn: Sampit, Mendawai, en Wasters. Terwijl andere gebieden bleef vrij, onder leiding van de leiders, en zelfs vele van hen die trokken zich terug in het interieur.Op het gebied van Causeway Sawang Kupang Island, in de buurt van de Kapuas, Stad Bataguh ooit een grote oorlog. Dayak vrouw genaamd Nyai Law speelt een rol in die oorlog. Nyai wet werd vergezeld door de dappere ridders, met inbegrip van Tambun, Bungai, enwaarbij Sindai en Tawala Swamp Raca. Op een later tijdstip de naam Tambun Bungai dappere held, een naam Kodam Tambun Bungai XI, Centraal-Kalimantan.In 1787, met de overeenkomst tussen de sultan van Banjar met VOS, wat resulteert in Centraal Kalimantan, bijna alle regio's, gecontroleerd VOC. In 1917, begon de regering aan de bezetting van de lokale mensen worden opgetild worden overheidsfunctionarissen, met direct toezicht door de kolonisten zelf. Sinds de negentiende eeuw, de invallers begonnen met het interieur van Borneo expeditie in te voeren om hun positie te versterken. Maar de inheemse bevolking, niet alleen gemakkelijk te beïnvloeden en gecontroleerd. Verzet tegen de bezetting deden ze pas in de twintigste eeuw. Frontale weerstand, eindigde in 1905, na Sultan Mohamad Seman rivier Menawing gedood en begraven in Puruk Cahu.In 1835, het protestantse christendom begon te gaan in het interieur. Tot de proclamatie van de Indonesische onafhankelijkheid, 17 augustus 1945, de indringers zijn niet in staat om de totale Kalimantan te controleren. Inheemse volkeren om te overleven en te houden weerstand. In augustus 1935 was er een strijd tussen de Punan Dayak stam Oot Marikit met de kolonisten. De slag eindigde met een vrede tussen Oot Marikit Sampit met Pangenan wet of Panganon door de Nederlandse regering.Volgens Hermogenes Ugang, in de 17e eeuw, een rooms-katholieke missionaris genaamd Antonio Ventimiglia ooit naar Banjarmasin. Met aanhoudende strijd en doorzettingsvermogen en weer over de rivier in Borneo grote boot die is voorzien van een altaar voor het offer van de Mis, slaagde hij erin membapbtiskan Ngaju drieduizend mensen katholiek werd. Zijn taak is gecentreerd in de bovenste Kapuas (Manusup) en de invloed van zijn werk was het aan de heuvel. Echter, in opdracht van Sultan Banjarmasin, Vader Anthony Ventimiglia vervolgens gedood. De reden voor de moord was omdat de Vader liefheeft Ventimiglia Ngaju, terwijl op dat moment de mensen Ngaju hebben een slechte relatie met de sultan van Banjarmasin.Met de moord op pater Ventimiglia duizenden katholieken die dibapbtiskannya Ngaju mensen, terug naar het oorspronkelijke geloof van hun voorouders behoren. Wat overblijft is het teken van het kruis een keer kennis met hen door Pastor Ventimiglia. Maar het teken van het kruis heeft verloren zijn ware betekenis. Teken van het kruis werd gewoon fetisjen voorwerpen (amuletten) is werkzaam als een afweermiddel versterkingen magische die tot nu toe bekend staat als shanties lampinak Dayak taal of in de taal van Banjar vogel rechtop.In de koloniale periode, de Dayak in Centraal Kalimantan, zelfs na socialiseren met buitenstaanders, maar blijven in hun eigen omgeving. In 1919, jonge Dayak een formele opleiding hebben, zoeken vooruitgang voor de mensen van zijn stam vast te stellen en Coöperatieve Staten Dayak Dayak, die werd ontwikkeld door Hausman Babu, M. Lampe, Ray Philips, Haji Abdul Gani, Sian, Lui donderdag Tamanggung Tundan, en nog veel meer. Dayak Dayak vakbonden en coöperaties, bewegen op tot 1926. Sindsdien is de Dayak bevolking meer vertrouwd raken met de omstandigheden van de tijd en beginnen te bewegen.In 1928, de twee organisaties samengevoegd tot Pakat Dayak, die zich bezighoudt met sociale, economische en politieke. Zij zijn actief betrokken bij deze activiteiten is Hausman Babu, Anton Samat, Loei donderdag. Ga dan verder door Mahir Mahar, C. Luran, H. Afgewezen, Oto Ibrahim, Philips Licht, E.S. Handuran, Amir Hasan, bewerkt de christelijke, Tjilik Riwut, en nog veel meer. Pakat Dayak doorgaan met de strijd, tot de ontbinding van het Nederlandse bewind in Indonesië.


F.J. Palaunsuka
In 1945, Dayak eenheid gevestigd in Pontianak, en heeft vestigingen in heel Borneo, onder leiding van J.
Uvang Uray, F.J. Palaunsuka, A. Djaelani, T. Brahim, F.D. Leiden. In 1959, Dayak Unity ( PD ) opgelost, trad vervolgens PNI en Partindo. Tot slot Partindo West Kalimantan samengevoegd tot IPKI. Op het gebied van Oost-Kalimantan stand Persukai of Tribal Unity Kalimantan Indonesië led Kamuk Tupak, W. Bungai, Muchtar, R. Magat, en nog veel meer.
Dayak Pakat
Zoals eerder vermeld, in 1937, de jongere generatie van Borneo hebben een formeel onderwijs, te begrijpen en op de hoogte blijven van de tijd, een vergadering gehouden om alle dingen over zaken en zaken van Dayak Dayak land zelf te bespreken. Deze bijeenkomst werd genoemd omdat ze zich zorgen maken over de situatie en de omstandigheden van zijn stam. In alle raad-raad of commissies georganiseerd door de Nederlandse overheid, of de partikulir, werd het volk van de Dayak stam nooit in de gelegenheid om op te zitten, ondanks het feit dat het praten punten Dayak eigen land zaken. Adjunct-Borneo Pejambon Volksraad, ook lette niet zo verlangen Dayak mensen hebben nog nooit gehoord tot Pejambon.Dan het opzetten van het Comite voor het Dayak Awareness Comite. De belangrijkste doelstelling is om het recht van vestiging en de positie van de Raad van People's Raden eisen en de geest van de Dayak stam het lot van zijn vaderland weer op te rakelen. Deze commissie heeft verzameld duizenden handtekeningen uit de hele Dayak stam, met woonplaats in Borneo, maar ook mensen op zoek naar het buitenland te gaan, om te vragen om een ​​positie in de Raad aan de regering van de People's Court.
Doelstellingen Oprichting Dayak Pakat
Het doel en de doelstellingen van vestiging Pakat Dayak, zoals vermeld in de statuten, de artikelen 2 en 3, zijn als volgt:
Artikel 2Basis
De maatschappij is gebaseerd op de Dayak eenheid met betrekking gelijke rechten en plichten. Het doel van deze vereniging is om alle Dayak stam samen te voegen, om een ​​grote en georganiseerde groep te vormen.
Artikel 3Bestemming
een. Catch up met de mate van belang, zowel in termen van politieke, sociale en economische.b. Hele stam Dayak Unityc. Voortzetting van alle rechten die bij het nationaal recht.d. Verbeter opnieuw Inheemse Voorouders en Cultureel Belang.
Vanuit de stelling dat de vereniging niet is Pakat Dayak religieuze verenigingen, zodat iedereen die zich het recht om een ​​lid van een Dayak worden.In de leeftijd van vier, heeft Pakat Dayak bestond uit vier duizend en vijfhonderd. Vestigingen verspreid in de East Village, Barito, Kapuas, Kahayan, Samarinda, Pontianak, Katingan, Mentaya, Pangkalan Bun, Sebangau, Seruyan, zelfs twee vestigingen bevinden zich in Java. In een korte tijd heeft Pakat Dayak fruit in staat geweest om 9 scholen en tientallen kleine winkels te bouwen.

No comments:

Post a Comment