Wednesday, January 2, 2013

Ekspedisi Nieuwenhuis di Pedalaman Borneo 1896-1897







Ekspedisi Nieuwenhuis di Tanah Dayak  1896-1897

Pada abad 19 dimulailah tahap baru dalam sejarah kolonial, yaitu ekspedisi ke pedalaman Kalimantan yang dilakukan oleh Inggris dan Belanda. Dimulai dari beberapa penjelajah Inggris seperti Alexander Hare di Banjarmasin (1812), James Brooke (1842) di Sarawak, James Erskine Murray (1844) di Kutai. Kemudian disusul oleh para penjelajah Belanda seperti Georg Muller (1825) di Kapuas Hulu, Molengraaf (1893) di Kalimantan Tengah, Nieuwenhuis (1896) di Mahakam Hulu serta banyak para penjelajah Borneo lainnya.

Ekspedisi yang dilakukan oleh kedua negara tersebut di pedalaman Borneo didahului dengan penguasaan di daerah pesisir dan hilir serta muara sungai besar seperti Kapuas dan Mahakam yang mengakibatkan penguasaan atas jalur ekonomi dan perdagangan suku-suku pesisir. Beberapa perang besar yang terjadi melawan pemerintah kolonial diantaranya perang Banjarmasin (1859-1863) dan perang Wakang (1870).

Sementara itu Inggris menekan memperluas wilayahnya dengan menekan Kesultanan Brunei dan menaklukan Suku Kayan (1863) dan Suku Iban (1868). Di Sabah, Inggris menetap di Labuan pada tahun 1846. Di tahun 1860, Spencer menjelajahi sungai Limbang dan mendaki Gunung Kinibalu, yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Kalimantan. British North Borneo Chartered Company mengambil alih kekuasaan di Sabah tahun 1881.

Penguasaan niaga saja ternyata tidak lagi cukup dan kekuatan kolonial sekarang membutuhkan penguasaan teritorial sesungguhnya yang berdasarkan struktur-struktur administratif militer. Dalam rangka inilah ekpedisi-ekspedisi besar dilakukan terutama di daerah “putih” di dalam peta : Rejang Hulu (Hugh Low, 1880), Baram Hulu (Charles Hose, 1884), Mahakam (Tromp, 1880) dan Kapuas Hulu (Nieuwenhuis, 1893). Pada tahun 1930, seluruh pedalaman Borneo jatuh ke tangan kolonial Belanda dan Inggris.

Wilayah perbatasan antara Kapuas dan Mahakam merupakan salah satu wilayah yang paling terpencil di Borneo. Di sebelah timur, daerah Mahakam Hulu yang terisolasi oleh jeram-jeram sungai yang berbahaya, berdiam suku Kayan-Mahakam, suku Aoheng, suku Busang dan suku Long-Gelat yang mendiami dataran-dataran yang subur.

Di sebelah barat, daerah Kapuas Hulu dengan kota niaga kecil Putussibau, pada bagian hulu lagi terdapat barisan gunung yang besar yang mencapai ketinggian hampir 2000 meter yang didiami oleh suku nomaden Bukat dan Kereho, serta suku semi-nomaden Hovongan (atau Punan Bungan). Orang asing pertama yang mencapai dan melintasi barisan pegunungan ini adalah Mayor Muller, seorang mantan perwira zeni dari tentara Napoleon yang kemudian masuk ke dalam pamongpraja Hindia Belanda, pada tahun 1825. Saat ini pegunungan yang terletak di perbatasan Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat tersebut dinamakan Pegunungan Muller dengan Gunung Batubrok sebagai salah satu gunung tertinggi (2240 meter dari permukaan laut)

Salah satu ekspedisi kolonial Belanda yang cukup penting di Borneo Tengah adalah ekspedisi yang dilakukan oleh Nieuwenhuis pada tahun 1896-1897. Anton Willem Niewenhuis adalah seorang dokter perwira yang ditugaskan di beberapa daerah kolonial Belanda di nusantara seperti Lombok dan Kalimantan. Tahun 1890 ia mendapatkan gelar Ph.D dalam ilmu kedokteran dari Universitas Abert-Ludwigs, Jerman.

Ekspedisi ini beranggotakan F. Van Berchtold, kolektor museum zoologi, Jean Demmeni, fotografer, Midan, koki, serta Jaheri dan Lahidin, pegawai Taman Botani Buitenzorg. Ekspedisi ini berangkat dari Pontianak sekitar bulan Februari 1896 dengan tujuan utama pedalaman Kalimantan di Kapuas Hulu dan Mahakam Hulu serta berakhir di Samarinda. Ekspedisi ini sampai di Tanjung Karang, suatu desa di Kalimantan Barat, pada tanggal 7 April 1896, dimana Nieuwenhuis berdiam selama dua bulan lebih sampai 15 Juni 1896 untuk menguasai bahasa Kayan dan bahasa Busang, bahasa perantara di Mahakam Hulu. Setelah itu tim penjelajah bergerak ke Putussibau. Di Putussiabau, Nieuwenhuis mengumpulkan penduduk lokal dari suku Kayan untuk membantu penjelajahannya.

Nieuwenhuis berangkat pada tanggal 3 Juli 1896 dari Putussibau dengan 12 sampan dan 50 awak perahu dari suku Kayan. Mengikuti jalan setapak sebelah selatan, mereka menelusuri Sungai Bungan dan Bulit, lalu turun ke Sungai Penane dan Kaso di sebelah timur. Rombongan mula-mula berdiam di tempat suku Aoheng (Pnihing) dan kemudian berdiam di tempat suku Kayan-Mahakam. Selama delapan bulan mereka menetap di Mahakam Hulu.

Suku Kayan-Mendalam dan ketua suku mereka, Akam Igau, memegang peranan sangat penting dalam kelancaran ekspedisi. Tanpa bantuan Akam Igau, Nieuwenhuis tidak akan pernah berhasil. Di seberang perbatasan, peran Koeng Irang, ketua suku Kayan-Mahakam juga tidak dapat diremehkan.

Sehungguhnya Nieuwenhuis terjebak pada posisi politik dan ekonomi yang cukup sulit karena konflik antar suku di Borneo Tengah. Suku-suku di Mahakam Hulu merasa terjepit dengan kekuasaan suku Kutai di pesisir timur serta suku Iban dari Serawak. Beberapa tahun sebelumnya yaitu pada tahun 1885, suku Iban pernah melakukan serangan besar-besaran kepada suku-suku di daerah Mahakam Hulu terutama suku Ahoeng dan menghancurkan desa-desa merdeka.

Dan pada saat itu suku-suku di Mahakam Hulu secara politik terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu : yang berpihak kepada kesultanan Kutai, yang berpihak kepada kesultanan Banjarmasin dan suku-suku yang berdiri sendiri ataupun pada kekuatan lain. Maka itu Koeng Irang, kepala suku Kayan-Mahakam yang menyadari kekuatan Belanda mengajukan petisi kepada pemerintah kolonial untuk “mengambil alih kekuasaan” atas daerahnya untuk memenangkan pertarungan politik lokal. Tentu saja hal ini menggembirakan Nieuwenhuis.

Perjalanan menghiliri Sungai Mahakam berkahir pada tanggal 5 Juni 1897, ketika keenam anggota ekspedisi meninggalkan Samarinda dengan tujuan Batavia. Sesampainya di Batavia, Nieuwenhuis ikut berunding dengan pejabat pemerintah dan meyakinkan mereka untuk membiayai ekspedisi berikutnya dengan tujuan yang lebih tegas yaitu penguasaan politik, ekonomi dan militer atas Borneo Tengah terutama di Mahakam Hulu.

Ekspedisi berikutnya berangkat dari Pontianak pada tanggal 24 Mei 1898. Disamping membawa para peneliti, diantaranya J.P.J. Barth (kemudian terkenal dengan hasil tulisannya berupa kamus bahasa Busang-Belanda) dan Doris, seorang ahli taksidermi, penjelajahan kali ini juga membawa serdadu kerajaan Belanda. Penjelajahan ini berakhir dan sampai di Samarinda pada 9 Juni 1899. Dan pada bulan Juni tahun 1900, wilayah Mahakam Hulu secara resmi berada di bawah kekuasaan kolonial Hindia Belanda dan menempatkan Barth sebagai kontrolir yang bertugas di desa Long Kiram. Pos militer Hindia Belanda dibangun pertama kali di daerah Mahakam Hulu pada tahun 1907 dengan Kapten L.S. Fischer sebagai perwira penanggung-jawabnya.

Pada akhirnya ekspedisi Nieuwenhuis memenuhi tujuan-tujuan politiknya yang berjangka panjang dengan menghasilkan berdirinya pax neerlandica di wilayah pedalaman Borneo. Kontrolir-kontrolir yang bertugas di hulu sungai mulai mengawasi kegiatan-kegiatan niaga dan membantu suku-suku Dayak dapat berdagang dengan baik terutama hubungan dagang dengan suku Melayu ataupun Cina. Ekspedisi ini pun menghasilkan peta-peta yang akurat dari daerah ‘putih’ di pedalaman Borneo yang belum pernah dikunjungi oleh orang luar, juga kajian liguistik (Kamus Busang) dan khasanah etnografi serta sejarah suku-suku Dayak setempat.

Koleksi zoologi dan botani juga membuahkan hasil, diantaranya 209 spesies burung dan 659 spesies ikan yang dikirim ke Museum Zoologi di Leiden, 2000 spesimen tanaman yang dikirim ke Herbarium Buitenzorg, sejumlah contoh batu-batuan yang disimpan di Universitas Utrecht. Suatu spesies burung yang langka tertangkap di Apokayan tahun 1900 diberi nama Burung Nieuwenhuis serta sejumlah besar terbitan ilmiah didasarkan pada pengamatan dan koleksi ekspedisi tersebut.

In the 19th century began a new phase in the history of the colonial, the expedition to Borneo by Britain and the Netherlands. Starting from several British explorers such as Alexander Hare in Banjarmasin (1812), James Brooke (1842) in Sarawak, James Erskine Murray (1844) in the Kutai. Then followed by Dutch explorers such as Georg Muller (1825) in Kapuas Hulu, Molengraaf (1893) in Central Kalimantan, Nieuwenhuis (1896) in Mahakam Hulu and many other explorers Borneo.
The expedition carried out by the two countries in the interior of Borneo preceded by mastery in the coastal areas and estuaries and lower reaches of major rivers such as the Kapuas and Mahakam resulting control over the path of economic and trade coastal tribes. Some of the major wars that occurred against the colonial government including Banjarmasin war (1859-1863) and war Wakang (1870).
Meanwhile, Britain pressed to expand its territory by pressing the Sultanate of Brunei and conquer the Kayan tribe (1863) and the Iban tribe (1868). In Sabah, Labuan settled in England in 1846. In 1860, Spencer explore the Limbang river and climb Mount Kinabalu, the highest mountain on the island of Borneo. British North Borneo Chartered Company took power in Sabah in 1881.
Mastery commercial just apparently is no longer enough and the colonial powers now require actual territorial control by the military administrative structures. In the framework of this expedition expeditions are conducted primarily in the "white" on the map: Hulu Rejang (Hugh Low, 1880), the Upper Baram (Charles Hose, 1884), Mahakam (Tromp, 1880) and the Kapuas Hulu (Nieuwenhuis, 1893) . In 1930, the entire interior Borneo fell into the hands of the Dutch and British colonial.
The border region between the Kapuas and Mahakam is one of the most remote areas in Borneo. To the east, Upper Mahakam area isolated by the river rapids are dangerous, silent-Mahakam Kayan tribe, tribal Aoheng, tribal Busang and Long-Gelat tribes inhabiting the fertile plains.
In the west, the area Kapuas Hulu with a small commercial town Putussibau, on the upstream side again there is a great line of mountains that reach a height of nearly 2000 feet populated by nomadic tribes and Kereho Bukat and semi-nomadic tribes Hovongan (or Punan Bungan). The first foreigner to reach and traverse mountain ranges are Major Muller, a former engineer officer of Napoleon's army in the civil service and then entered into the Dutch East Indies, in 1825. Currently mountains on the border of East Kalimantan and West Kalimantan is called Muller Mountains with Mount Batubrok as one of the highest mountain (2240 ​​meters above sea level)
One of the Dutch colonial expedition is quite important in Central Borneo expedition was conducted by Nieuwenhuis in the year 1896-1897. Niewenhuis Willem Anton is a doctor who commissioned officer in several Dutch colonial area in the archipelago as Lombok and Borneo. In 1890 he earned a Ph.D. in medicine from Abert-Ludwigs University, Germany.
The expedition consisted of F. Van Berchtold, zoology museum collector, Jean Demmeni, photographers, Midan, chefs, and Jaheri and Lahidin, employees Buitenzorg Botanical Gardens. The expedition departed from Pontianak in February 1896 with the main purpose of Borneo in Kapuas Hulu and Hulu Mahakam and ends in Samarinda. The expedition arrived at Tanjung Karang, a village in West Kalimantan, on April 7, 1896, where Nieuwenhuis silent for two months until June 15, 1896 to acquire language and language Busang Kayan, an intermediate language in the Mahakam Hulu. After that the team of explorers moving to Putussibau. In Putussiabau, Nieuwenhuis collect Kayan tribe of local residents to help exploration.
Nieuwenhuis departed on July 3, 1896 from Putussibau with 12 boats and 50 crew from the Kayan tribe. Following the path south, they search and Bulit Bungan River, then down to the river Penane and rafters in the east. Group originally lived in tribes Aoheng (Pnihing) and then settles in place-Mahakam Kayan tribe. For eight months they lived in the Mahakam Hulu.
Kayan tribe-depth and their chieftains, Akam Igau, plays an important role in the smooth running of the expedition. Without the help Akam Igau, Nieuwenhuis will never succeed. Across the border, the role Koeng Irang, chairman-Mahakam Kayan tribe also not be underestimated.
Nieuwenhuis Sehungguhnya stuck on the political and economic position is quite difficult because of inter-ethnic conflicts in Central Borneo. The tribes on the Mahakam Hulu feeling the pinch with power Kutai tribes on the east coast as well as the tribal Iban of Sarawak. A few years before that in 1885, the Iban tribe never done a massive attack to the tribes in the region, especially the Upper Mahakam Ahoeng and destroy tribal villages independence.
And at that time the tribes of the Upper Mahakam politically divided into several sections, namely: that favor the Kutai sultanate, in favor of the Banjarmasin sultanate and tribes that stand alone or on other forces. Then it Koeng Irang, head-Mahakam Kayan tribe who realize the power of Holland petitioned the colonial government to "take over" the area to win local political battles. Of course this is encouraging Nieuwenhuis.
Trip travel smth. Downstream Mahakam River ends on June 5, 1897, when six members of the expedition left Dublin with the aim of Batavia. Arriving in Batavia, Nieuwenhuis join talks with government officials and convince them to finance the next expedition with the goal of a more rigorous control of the political, economic and military control over Central Borneo, especially in the Mahakam Hulu.
The next expedition departed from Pontianak on May 24, 1898. Besides bringing researchers, including JPJ Barth (later famous for his writings in the form of results-Dutch dictionary Busang) and Doris, an expert taxidermy, exploration time also brought the Dutch royal troops. The cruise ends and get in Samarinda on June 9, 1899. And in June 1900, the area of ​​the Upper Mahakam formally under the authority of the colonial Dutch East Indies and put Barth as the controller on duty in the village of Long Kiram. Dutch East Indies military post was first built in the Mahakam Hulu in 1907 by Captain LS Fischer as a focal officer responsibilities.
At the end of the expedition Nieuwenhuis meet their political goals by generating long-term establishment of pax Neerlandica in the interior of Borneo. Kontrolir-controller on duty in the headwaters began overseeing commercial activities and help Dayak tribes to trade with especially good trade relations with the ethnic Malay and Chinese. This expedition also produce accurate maps of the 'white' in the interior of Borneo that has never been visited by outsiders, as well as linguistic studies (Dictionary Busang) and ethnographic treasures and history of local Dayak tribes.
Collection of zoology and botany also produced results, including 209 species of birds and 659 species of fish were sent to the Zoological Museum in Leiden, 2000 plant specimens were sent to the Buitenzorg Herbarium, a number of examples of rocks that are stored at the University of Utrecht. A rare species of birds caught in Apokayan in 1900 was named Bird Nieuwenhuis and a large number of scientific publications based on the observation and collection of the expedition.




In de 19e eeuw begon een nieuwe fase in de geschiedenis van de koloniale, de expeditie naar Borneo door Groot-Brittannië en Nederland. Vanaf verschillende Britse ontdekkingsreizigers zoals Alexander Hare in Banjarmasin (1812), James Brooke (1842) in Sarawak, James Erskine Murray (1844) in de Kutai. Daarna gevolgd door Nederlandse ontdekkingsreizigers, zoals Georg Muller (1825) in Kapuas Hulu, Molengraaf (1893) in Centraal Kalimantan, Nieuwenhuis (1896) in de Mahakam Hulu en vele andere ontdekkingsreizigers Borneo.
De expeditie uitgevoerd door de twee landen in het binnenland van Borneo voorafgegaan door meesterschap in de kustgebieden en estuaria en benedenloop van de grote rivieren, zoals de Kapuas en Mahakam als gevolg controle over het pad van de economische en handelsbetrekkingen kust stammen. Enkele van de belangrijkste oorlogen die tegen de koloniale overheid zich ook Banjarmasin oorlog (1859-1863) en de oorlog Wakang (1870).
Ondertussen, Groot-Brittannië ingedrukt om zijn grondgebied uit te breiden door op het Sultanaat van Brunei en de Kayan-stam (1863) en de Iban stam (1868) te veroveren. In Sabah, Labuan vestigde zich in Engeland in 1846. In 1860, Spencer verken de Limbang rivier en klim Mount Kinabalu, de hoogste berg op het eiland Borneo. Brits Noord-Borneo Chartered Company nam de macht in Sabah in 1881.
Meesterschap commerciële net is blijkbaar niet meer genoeg is en de koloniale machten vereisen nu werkelijke territoriale controle door het leger administratieve structuren. In het kader van deze expeditie expedities worden voornamelijk uitgevoerd in de "witte" op de kaart: Hulu Rejang (Hugh Low, 1880), de Upper Baram (Charles Hose, 1884), Mahakam (Tromp, 1880) en de Kapuas Hulu (Nieuwenhuis, 1893) . In 1930, het gehele interieur Borneo in handen viel van de Nederlandse en Britse koloniale.
Het grensgebied tussen de Kapuas en Mahakam is een van de meest afgelegen gebieden in Borneo. In het oosten, Opper-Mahakam geïsoleerd gebied aan de rivier de stroomversnellingen zijn gevaarlijk, stil-Mahakam Kayan-stam, stam Aoheng, tribal Busang en Long-Gelat stammen bewonen de vruchtbare vlaktes.
In het westen, het gebied Kapuas Hulu met een kleine handelsstad Putussibau, aan de stroomopwaartse kant weer is er een grote lijn van bergen die een hoogte van bijna 2000 meter bevolkt door nomadische stammen en Kereho Bukat en semi-nomadische stammen Hovongan (of Punan Bungan) te bereiken. De eerste buitenlander te bereiken en te doorkruisen bergketens zijn Major Muller, voormalig werktuigkundige van het leger van Napoleon in het ambtenarenapparaat en vervolgens ingevoerd in Nederlands-Indië, in 1825. Momenteel bergen op de grens van Oost-Kalimantan en West Kalimantan heet Muller Bergen met Mount Batubrok als een van de hoogste berg (2240 ​​meter boven de zeespiegel)
Een van de Nederlandse koloniale expeditie is heel belangrijk in Centraal-Borneo expeditie werd uitgevoerd door Nieuwenhuis in het jaar 1896-1897. Niewenhuis Willem Anton is een arts die officier de opdracht in verschillende Nederlandse koloniale gebied in de archipel als Lombok en Borneo. In 1890 promoveerde hij in de geneeskunde van Abert-Ludwigs Universiteit, Duitsland.
De expeditie bestond uit F. Van Berchtold, zoölogie museum verzamelaar, Jean Demmeni, fotografen, Midan, chef-koks, en Jaheri en Lahidin, werknemers Buitenzorg Botanische Tuinen. De expeditie vertrok uit Pontianak in februari 1896 met het voornaamste doel van Borneo in Kapuas Hulu en Hulu Mahakam en eindigt in Samarinda. De expeditie aangekomen bij Tanjung Karang, een dorp in West-Kalimantan, op 7 april 1896, waar Nieuwenhuis stil voor twee maanden tot 15 juni 1896 tot taal en taalgebruik Busang Kayan, een tussentijdse taal in de Mahakam Hulu verwerven. Na dat het team van ontdekkingsreizigers verhuizen naar Putussibau. In Putussiabau, Nieuwenhuis verzamelen Kayan-stam van de lokale bewoners om exploratie te helpen.
Nieuwenhuis vertrok op 03 juli 1896 uit Putussibau met 12 boten en 50 bemanningsleden van de Kayan-stam. Naar aanleiding van het pad zuiden, ze zoeken en Bulit Bungan rivier, dan naar beneden naar de rivier Penane en spanten in het oosten. Groep oorspronkelijk leefde in stammen Aoheng (Pnihing) en dan vestigt zich in place-Mahakam Kayan-stam. Acht maanden woonden ze in de Mahakam Hulu.
Kayan stam-diepte en hun oversten, Akam Igau, speelt een belangrijke rol in de goede werking van de expeditie. Zonder de hulp Akam Igau, zal Nieuwenhuis nooit slagen. Over de grens, de rol Koeng Irang, voorzitter-Mahakam Kayan-stam ook niet worden onderschat.
Nieuwenhuis Sehungguhnya vast op de politieke en economische positie is heel moeilijk vanwege de inter-etnische conflicten in Centraal-Borneo. De stammen van de Mahakam Hulu voelen de nood van stroom Kutai stammen aan de oostkust en de tribale Iban van Sarawak. Een paar jaar daarvoor in 1885, de Iban stam nog nooit gedaan een massale aanval op de stammen in de regio, met name de Upper Mahakam Ahoeng en te vernietigen tribale dorpen onafhankelijkheid.
En op dat moment de stammen van de Boven Mahakam politiek verdeeld in verschillende secties, te weten: dat de Kutai sultanaat, ten gunste van de Banjarmasin sultanaat en stammen die stand-alone of op andere krachten te bevorderen. Dan Irang Koeng, hoofd-Mahakam Kayan-stam die beseffen de kracht van Holland verzoekschrift ingediend bij de koloniale overheid om "over te nemen" het gebied om de plaatselijke politieke gevechten te winnen. Natuurlijk is dit is bemoedigend Nieuwenhuis.
Trip reizen smth. Downstream Mahakam rivier eindigt op 5 juni 1897, toen zes leden van de expeditie Dublin vertrokken met het doel van Batavia. Aangekomen in Batavia, Nieuwenhuis voegen gesprekken met ambtenaren en hen te overtuigen om de volgende expeditie met als doel een strengere controle van de politieke, economische en militaire controle over Centraal-Borneo, vooral in de Mahakam Hulu financieren.
De volgende expeditie vertrok uit Pontianak op 24 mei 1898. Naast brengen onderzoekers, met inbegrip van JPJ Barth (later bekend om zijn geschriften in de vorm van resultaten-Nederlands woordenboek Busang) en Doris, een expert taxidermie, exploratie tijd bracht ook de Nederlandse koninklijke troepen. De cruise eindigt en krijgen in Samarinda op 9 juni 1899. En in juni 1900, op het gebied van de Boven Mahakam formeel onder het gezag van de koloniale Nederlands-Indië en zet Barth als de controller op de rechten van het dorp Long Kiram. Nederlands-Indië militaire post werd voor het eerst gebouwd in de Mahakam Hulu in 1907 door kapitein LS Fischer als een centraal officier verantwoordelijkheden.
Aan het einde van de expeditie Nieuwenhuis voldoen aan hun politieke doelen te bereiken door het genereren van langdurige vestiging van pax Neerlandica in het binnenland van Borneo. Kontrolir-controller dienst in de bovenloop begon het toezicht op commerciële activiteiten en helpen Dayak stammen voor de handel met vooral goede handelsbetrekkingen met de etnische Maleisische en Chinese. Deze expeditie produceren ook nauwkeurige kaarten van de 'witte' in het binnenland van Borneo, dat nooit is bezocht door buitenstaanders, maar ook taalkundige studies (Woordenboek Busang) en etnografische schatten en de geschiedenis van de lokale Dayak stammen.
Het verzamelen van plant-en dierkunde produceerde ook de resultaten, met inbegrip van 209 soorten vogels en 659 soorten vis werden naar het Zoölogisch Museum in Leiden, werden 2000 plantensoorten verzonden naar de Buitenzorg Herbarium, een aantal voorbeelden van gesteenten die zijn opgeslagen aan de Universiteit van Utrecht. Een zeldzame soorten vogels gevangen in Apokayan in 1900 werd uitgeroepen tot Vogel Nieuwenhuis en een groot aantal wetenschappelijke publicaties op basis van de waarneming en verzameling van de expeditie.

Sumber Bacaan :

Di Pedalaman Borneo. Anton W. Nieuwenhuis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 1994



No comments:

Post a Comment