HUBUNGAN KESULTANAN PONTIANAK DENGAN KERAJAAN DAYAK
MEMPAWAH DAN MATAN
SERTA PERAN DAYAK DALAM MEMBUKA HUTAN UNTUK LOKASI MENDIRIKAN ISTANA DAN MASJID
THE RELATIONSHIP AMONG THE PONTINAK SULTANATE WITH THE DAYAK KINGDOMS
OF MEMPAWAH AND MATAN
AND THE ROLE OF DAYAKS IN OPENING THE FORESTS FOR STARTING LOCATION PALACE AND MOSQUE
Keraton Pontianak yang
megah dengan struktur bangunan dari kayu yang kokoh, didirikan oleh
Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie pada tahun 1771.Keraton Pontianak merupakan perpaduan dari Arab-Yaman, Dayak , Banten dan Bugis.
Sultan Syarief Abdurrachman Alqadrie, keturunan Al Habib Husin, hasil pernikahannya dengan putri Dayak- Nyai Tua ( Banten Dayak ) dari Kerajaan Matan Ketapang; dan Syarief Abdurrachman Alqadrie menikahi Utin Tjandramidi ( Bugis Dayak ) anak Daeng Manambon dari Mempawah.
Maka merekapun mengikuti peluru meriam itu. Mereka mula-mula mendirikan
pondok-pondok sederhana beratapkan ilalang, namun ternyata gangguang
hantu Pontianak itu tidak berhenti bahkan mengancam jiwa mereka oleh
sebab itu mereka kemudian kembali kedalam perahunya. Saat itu mereka
hendak mendirikan sebuah Mesjid sebelum mendirikan sebuah Keraton, namun
setiap kali pohon itu ditebang esoknya pohon itu bertaut kembali.
Maka berangkatlah mereka menggunakan sampan menuju anak Sungai Kapuas sambil mencicipi rasa air sungai apakah tawar atau asin. Ketika mereka menyusuri sungai itu terdengarlah suara orang yang mengatakan “MALAIYA” (Sebenarnya kalimat lengkapnya adalah “MAE MALA IYA?” yang dalam bahasa Dayak Kendayan artinya “bagaimana membelahnya?”). Maka sesegera mungkin mereka ini kembali ke KAKAP dan memberitahukan perihal ini kepada Syarif Abdurrahman.
Maka berangkatlah mereka menggunakan sampan menuju anak Sungai Kapuas sambil mencicipi rasa air sungai apakah tawar atau asin. Ketika mereka menyusuri sungai itu terdengarlah suara orang yang mengatakan “MALAIYA” (Sebenarnya kalimat lengkapnya adalah “MAE MALA IYA?” yang dalam bahasa Dayak Kendayan artinya “bagaimana membelahnya?”). Maka sesegera mungkin mereka ini kembali ke KAKAP dan memberitahukan perihal ini kepada Syarif Abdurrahman.
Mendengar berita ini Syarif Abdurrahman sangat gembira maka Ia
bersama anak buahnya pergi menyusuri sungai itu (Sungai itu sekarang
bernama MALAYA), setibanya disana ia bertemu 7 orang Dayak yang sedang
memasak. Kemudian Syarif Abdurrahman bertanya kepada mereka “Siapakah
Kamu?”. Ketujuh orang Dayak ini yang masih menggunakan cawat berlata:
“KAMI INILAH RAKYAT PUSAKA TURUNAN MEMPAWAH MENCARI HIDUP DI DAERAH
SUNGAI BERCABANG DUA”, lalu Syarif Abdurrahman bertanya lagi: “Pandaikah kamu bekerja?” merekapun menjawab semua kami bisa bekerja apa saja.
Kemudian Syarif Abdurrahman menceritakan semua permasalahan yang
mereka hadapi terutama gangguan hantu Pontianak, maka Syarif Abdurrahman
meminta bantuan ketujuh Orang Dayak itu jika mereka berhasil menebang
pohon untuk mereka mendirikan mesjid.
Ketujuh orang dayak inipun menyanggupinya namun harus diadakan sebuah upacar adat yaitu dengan mengalirkan darah binatang (babi) disekeliling kayu yang akan ditebang itu dan meminta ijin kepada roh-roh penunggunnya.
Lalu ketujuh orang Dayak ini melakukan ritual dan mempersembahkan korban dan mulailah mereka menebang pohon tersebut dan sebentar saja tanpa gangguang pohon itupun tumbang.
Atas jasa ketujuh orang Dayak itu Syarif Abdurrahman memberikan hadiah berupa berkarung-karung beras, pakaian.
Dan mereka telah punya lahan kebun yang terbentang sepanjang Sungai Ambawang, selebar lima puluh depa.
Ketujuh orang dayak inipun menyanggupinya namun harus diadakan sebuah upacar adat yaitu dengan mengalirkan darah binatang (babi) disekeliling kayu yang akan ditebang itu dan meminta ijin kepada roh-roh penunggunnya.
Lalu ketujuh orang Dayak ini melakukan ritual dan mempersembahkan korban dan mulailah mereka menebang pohon tersebut dan sebentar saja tanpa gangguang pohon itupun tumbang.
Atas jasa ketujuh orang Dayak itu Syarif Abdurrahman memberikan hadiah berupa berkarung-karung beras, pakaian.
Dan mereka telah punya lahan kebun yang terbentang sepanjang Sungai Ambawang, selebar lima puluh depa.
Ketujuh Orang Dayak ini kemudian membuka lahan tersebut serta diikuti oleh rombongan Suku Dayak secara bergelombang.
Rombongan pertama sejumlah 20 keluarga, pemimpinnya tidak disebutkan namanya, mereka bertani dan mendiami daerah kampung Durian.
Rombongan kedua dipimpin oleh Macan Sumit bersama 40 keluarga mendiami Kampung Cabang Kiri
Rombongan ketiga dipimpin oleh Tumenggung Madja bersama 60 keluarga mereka mendiami Simpang Kanan
Rombongan kelima dipimpin oleh Nek Nane bersama 100 keluarga, mereka mendiami daerah Pancaroba, Ngabang dan Landak.
Demikianlah sejarah keterlibatan Suku Dayak dalam pembentukan Kerajaan Pontianak.
I. Sisilah Kerajaan Mempawah.
Masa Dayak
- Patih Gumantar (± 1380)
- Raja Kudung (± 1610)
- Panembahan Senggaok (± 1680)
Masa Islam
- Opu Daeng Menambon bergelar Pangeran Mas Surya Negara (1740–1761)
- Gusti Jamiril bergelar Panembahan Adiwijaya Kesuma (1761–1787)
- Syarif Kasim bergelar Panembahan Mempawah (1787–1808)
- Syarif Hussein (1808–1820)
- Gusti Jati bergelar Sri Paduka Muhammad Zainal Abidin (1820–1831)
- Gusti Amin bergelar Panembahan Adinata Krama Umar Kamaruddin (1831–1839)
- Gusti Mukmin bergelar Panembahan Mukmin Nata Jaya Kusuma (1839–1858)
- Gusti Makhmud bergelar Panembahan Muda Makhmud Alauddin (1858)
- Gusti Usman bergelar Panembahan Usman (1858–1872)
- Gusti Ibrahim bergelar Panembahan Ibrahim Muhammad Syafiuddin (1872–1892)
- Gusti Intan bergelar Ratu Permaisuri (1892–1902)
- Gusti Muhammad Thaufiq Accamuddin (1902–1944)
- Gusti Mustaan (1944–1955); diangkat oleh Jepang
- Gusti Jimmi Muhammad Ibrahim Bergelar Panembahan XII (1955-2002)
- Pangeran Ratu Mulawangsa Mardan Adijaya Kesuma Ibrahim bergelar Panembahan XIII (2002–sekarang)
II. Sisilah Kesultanan Pontianak.
Pontianak palace with a magnificent structure of solid wood, founded by Sultan Syarif Abdurrachman 1771. Pontianak Palace is a fusion of Arabic-Yemeni, Dayak, Banten and Bugis.
Sultan Syarif Abdurrachman Alqadrie, Al Habib Husin descent, marriage to the daughter Dayak- Nyai Tua (Bantam Dayak) of the Kingdom of Matan Ketapang; and Syarif Abdurrachman Alqadrie married Utin Tjandramidi (Bugis Dayak) the daughter of Daeng Manambon from Mempawah.
So they follow the cannon ball. They initially establish the simple huts thatched roofs, but it turns out gangguang Pontianak ghost was not stopped even threatening their lives so they then go back into the boat. At that time they wanted to establish a Mosque before setting up a palace, but each time the tree was cut down the tree fit together again the next day.
So off they went by boat to the child while tasting flavors Kapuas River river water is fresh or salty. As they walked along the river there was a saying "MALAIYA" (Actually the full sentence is "MAE MALA YES?" Which in Kendayan Dayak language means "how to split it?"). So as soon as they returned to KAKAP and inform about this to Syarif Abdurrahman.
Hearing this news very excited Syarif Abdurrahman He and his men then went down the river (the river now named MALAYA), upon his arrival there he met 7 of the Dayaks who are cooking.
Syarif Abdurrahman then asked them, "Who are you?". This seventh Dayaks are still using loincloth berlata: "HERE WE ARE LOOKING FOR PEOPLE LIVING HERITAGE Mempawah DERIVATIVES IN THE RIVER forked", then Syarif Abdurrahman asked again: "Could do you work?" They also answer "all of us can work whatever".
Then Syarif Abdurrahman told all the problems they face especially ghosts disorders Pontianak, then Syarif Abdurrahman seek seven Dayaks help if they managed to cut down their trees to establish a mosque.
Seven Dayaks even this would not do otherwise but to be held a custom was to drain the blood of animals (pigs) around the timber to be harvested it and asked for permission to spirits in the trees.
Then this seven Dayaks performed rituals and sacrifices and they began to cut down the tree and without briefly rose trees uprooted. The services seven Dayaks to Syarif Abdurrahman; he gave the gift sacks of rice and clothes.
And they've got a garden area which extends along the River Ambawang, fifty fathoms wide.
Seven Dayaks then cleared the land and was followed by a Dayak group in waves.
The first batch of some 20 families, leaders not named, they farmed and inhabited the village Durian.
The second delegation was led by Macan Sumit with 40 families inhabit the village of Left Cross- Simpang Kiri;
The third delegation led by Temenggung Madja with 60 Members and their families inhabit the Simpang Right Cross-Kanan
The fifth delegation was led by Nek Nane with 100 families, they inhabit the transition area, Ngabang and Landak area.
Thus the history of involvement of Dayak in the establishment the kingdom of Pontianak.
Hoax
ReplyDelete