Monday, March 4, 2013

De facto - Dayak is owner of Borneo island.


De jure - Sultan of Sulu remained his sovereignty rights over the territory of North Borneo.

De facto - Dayak is owner of Borneo island.


Surat PERMANENT LEASED(pajakan/sewa kekal) Sultan Sulu kepada kerajaan British pada 22 January 1878 dijumpai di Washington

Under a Treaty of 1851 between the Sultan of Sulu and Spain, Sulu Sultanate status resembled that of a Spanish Protectorate. The internal administration of Sulu, its customs, laws, and religion were fully respected and were not subject to Spanish jurisdiction.
The Sultanate of Sulu also claimed sovereignty over certain territories which now are part of the Sabah in Malaysia. While the sultanate is not an internationally recognized entity it enjoys some autonomy and influence in the Philippines, particularly among the Muslim population of the country.
In 1878 Gustavus Baron de Overbeck obtained a grant of these territories in Borneo from Sultan Jamalul A'Lam. The deed of cession dated 22 January 1878, grants in perpetuity all the rights and powers belonging to the Sultan over the territories named in consideration of the payment to the grantor and its heirs and or successors of the sum of 5,000 dollars a year. The confirmatory deed dated 22 April 1903, relates only to certain islands which had not been specifically named in the main deed. The consideration was a further payment of 300 dollars a year. Under that grant Sultan of Sulu remained his sovereignty rights over the territory of North Borneo



Suku suku pemilik Daerah Sabah.

Tribal owners of  Sabah regional
By the treaty of 1851 the Sultan of Sulu had acknowledged the sovereignty of the Spanish Government over Sulu, but any question of his power to make a valid cession of the territories named in the main deed of Cession was set at rest by a Protocol of 1885 signed on behalf of the British, Spanish and German Governments at Mardik on 7 March 1885.
Article III of that Protocol reads:- "The Spanish Government renounces, as far as regards the British Government, all claims of sovereignty over the territories of the Continent of Borneo, which belong, or which have been belonged in the past to the Sultan of Sulu (Jolo), and which comprise the neighbouring islands of Balambangan, banguey and Malawali, as well as all those comprised within a zone of three maritime leagues from the coast, and which form part of the territories administered by a company styled the British North Borneo Company". Under that Protocol Sultan of Sulu remained his sovereignty rights over the territory of North Borneo.
In the Treaty of Paris (1898) whereby the Spanish surrendered their territory, their boundary was stipulated to be nine miles off the coast of North Borneo. In May 1899, Spain evacuated Sulu, and on 26 August 1899, General Bates, of the United States army, concluded a treaty with Sultan Jamalul Kiram and the sovereignty of Sulu (excluding North Borneo) passed from Spain to the United States of America. Under that Treaty Sultan of Sulu remained his sovereignty rights over the territory of North Borneo.
The status of Sulu entirely changed in 1915. The Sultan had by then been shorn of all temporal power and retained only the empty title of Sultan and certain religious jurisdiction exercisable only by the consent of the parties. As United States of America was not interested about territory of North Borneo, de jure Sultan of Sulu remained his sovereignty rights over the territory of North Borneo.
After the death of Sultan Jamalul Kiram in 1936 the Philippine Government, the successors in sovereignty of the United States of America, decided not to recognise the continued existence of the Sulu Sultanate, according to a letter to the Governor of North Borneo dated 28 July 1936, from His Britannic Majesty's Consul General in Manila.
The abolition of the Sulu Sultanate did not abolish the Sultan nor his line of succession.
On 12 September 1962, Vice President and concurrently Secretary of Foreign Affairs of the Republic of Philippines, Mr. Emmanuel Pelaez together with Sultan Moh. Esmail E. Kiram signed a "Instrument of cession of the territory of North Borneo by His Highness Sultan Moh. Esmail E. Kiram , Sultan of Sulu", under what Philippine Government again officially recognised the continued existence of the Sulu Sultanate and the office of Sultan of Sulu.

On 24 May 1974, Philippine President Ferdinand Marcos issued a Presidential Memorandum Order 427 that recognised Datu Moh. Mahakuttah A. Kiram as the Sultan of Sulu in a public coronation. He is the eldest son of Sultan Moh. Esmail E. Kiram.


Berdasarkan Perjanjian 1851 antara Sultan Sulu dan Spanyol, status Kesultanan Sulu mirip bahwa dari Protektorat Spanyol.
Administrasi internal Sulu, adat istiadat, hukum, dan agama sepenuhnya dihormati dan tidak tunduk pada yurisdiksi Spanyol.Kesultanan Sulu juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tertentu yang sekarang adalah bagian dari Sabah di Malaysia. Sementara kesultanan bukan merupakan lembaga  yang diakui secara internasional itu menikmati beberapa otonomi dan pengaruh di Filipina, khususnya di kalangan penduduk Muslim negara.Pada tahun 1878 Gustavus Baron de Overbeck memperoleh hibah dari wilayah di Kalimantan dari Sultan Jamalul a'lam. Akta penyerahan tanggal 22 Januari 1878, hibah selama-lamanya semua hak dan kekuasaan milik Sultan atas wilayah yang disebutkan dalam pertimbangan pembayaran kepada pemberi dan ahli waris dan atau pengganti dari jumlah 5.000 dolar per tahun. Akta konfirmasi tanggal 22 April 1903, hanya menyangkut pulau-pulau tertentu yang tidak secara khusus disebutkan dalam akta utama. Pertimbangannya adalah pembayaran lebih lanjut dari 300 dolar per tahun. Di bawah itu hibah Sultan Sulu tetap hak kedaulatan di atas wilayah Kalimantan UtaraDengan perjanjian dari 1851 Sultan Sulu telah mengakui kedaulatan Pemerintah Spanyol atas Sulu, namun pertanyaan kekuasaannya untuk membuat penyerahan yang valid dari wilayah yang disebutkan dalam akta utama Penyerahan ditetapkan saat istirahat oleh Protokol 1885 ditandatangani atas nama pemerintah Inggris, Spanyol dan Jerman di Mardik pada tanggal 7 Maret 1885.Pasal III Protokol yang berbunyi: - "Pemerintah Spanyol renounces, sejauh sehubungan dengan Pemerintah Inggris, semua klaim kedaulatan atas wilayah Benua Kalimantan, yang termasuk, atau yang telah dimiliki di masa lalu untuk Sultan Sulu (Jolo), dan yang terdiri dari pulau-pulau tetangga dari Blambangan, banguey dan Malawali, serta semua yang terdiri dalam zona tiga liga maritim dari pantai, dan yang merupakan bagian dari wilayah dikelola oleh sebuah perusahaan ditata Utara Inggris borneo Perusahaan ". Di bawah itu Protokol Sultan Sulu tetap hak kedaulatan di atas wilayah Kalimantan Utara.Dalam Perjanjian Paris (1898) dimana Spanyol menyerahkan wilayah mereka, batas mereka ditetapkan menjadi sembilan mil di lepas pantai Kalimantan Utara. Pada bulan Mei 1899, Spanyol dievakuasi Sulu, dan pada tanggal 26 Agustus 1899, Jenderal Bates, dari tentara Amerika Serikat, menyimpulkan sebuah perjanjian dengan Sultan Jamalul Kiram dan kedaulatan Sulu (termasuk Borneo Utara) lulus dari Spanyol ke Amerika Serikat. Di bawah itu Perjanjian Sultan Sulu tetap hak kedaulatan di atas wilayah Kalimantan Utara.Status Sulu seluruhnya berubah pada tahun 1915. The Sultan waktu itu sudah dicukur dari semua kekuasaan duniawi dan hanya memiliki judul kosong Sultan dan yurisdiksi agama tertentu dieksekusi hanya dengan persetujuan para pihak. Seperti Amerika Serikat tidak tertarik tentang wilayah Kalimantan Utara, de jure Sultan Sulu tetap hak kedaulatan di atas wilayah Kalimantan Utara.Setelah kematian Sultan Jamalul Kiram tahun 1936 Pemerintah Filipina, penerus dalam kedaulatan Amerika Serikat, memutuskan untuk tidak mengakui keberadaan lanjutan dari Kesultanan Sulu, menurut sebuah surat kepada Gubernur Kalimantan Utara tanggal 28 Juli 1936 , dari Konsul Jenderal Sang Raja Britannia di Manila.Penghapusan Kesultanan Sulu tidak menghapuskan Sultan atau garis keturunannya suksesi.Pada tanggal 12 September 1962, Wakil Presiden dan Sekretaris merangkap Luar Negeri Republik Filipina Emmanuel, Mr Pelaez bersama dengan Sultan Moh. Esmail E. Kiram menandatangani "Instrumen pengambilalihan wilayah Kalimantan Utara oleh Yang Mulia Sultan Moh Esmail E. Kiram, Sultan Sulu.", Di bawah apa lagi Pemerintah Filipina secara resmi mengakui eksistensi lanjutan dari Kesultanan Sulu dan kantor Sultan Sulu.Pada tanggal 24 Mei 1974, Presiden Filipina Ferdinand Marcos mengeluarkan Perintah Presiden Memorandum 427 yang diakui Datu Moh. Mahakuttah A. Kiram sebagai Sultan Sulu dalam penobatan publik. Dia adalah putra sulung Sultan Moh. Esmail E. Kiram.



By: Otai Reformasi II


By:
An Ugat

Penduduk dakwa penceroboh bolos dari Kg Tanduo

No comments:

Post a Comment