Saturday, February 16, 2013

Inventory Guidelines Indigenous Peoples, Local Wisdom and related Indigenous Peoples Rights Protection and Environmental Management



"Inventory Guidelines Indigenous Peoples, Local Wisdom and related Indigenous Peoples Rights Protection and Environmental Management (PPLH)" is intended to improve the competence of the Provincial Government officials and district / city to carry out an inventory of indigenous people in the region, as mandated in Article 63
Law no. 32/2009 concerning PPLH.



This activity takes place 16-17 July 2012 in Aryaduta, Makassar, followed by more than 77 participants from provincial BLH - Department of Emvironment , BLH District and BAPPEDA as Maluku and Papua, Sulawesi eco - region.
The rest of the activation of indigenous NGOs and universities.


One obstacle in the involvement of indigenous people in PPLH and protection of their rights, including the implementation of the Nagoya Protocol is the complete unpreparedness of the basic data and the systematic existence of indigenous people (MHA= Masyarakat Hukum Adat ) and  Local wisdom (KL- Kearifan Local ).

Indonesian society, especially in ecoregions Sumapapua, has the potential existence of indigenous people and local knowledge, including traditional knowledge associated genetic resources. The existence of these groups need to be recorded and published to be followed in the provision of related rights protection PPLH. Role of the Provincial and District is very important in order inventory of indigenous people (MHA) and local knowledge (KL). To support these efforts required adequate understanding related to "Inventory Guidelines Indigenous Peoples, Local Wisdom and Peoples' Rights".

Accordingly, the first step taken is the socialization of the guidelines that have been issued by the Ministry of Environment in 2011. The socialization are:
(1) inventory policy MHA and KL,
(2) inventory procedures MHA and KL,
(3) criteria for MHA and KL,
(4) methods and institutional inventory MHA and KL, (5) Best practice model inventory MHA and
KL,
(6) Strengthening MHA initiative and KL,
(7) Financing activities inventory.


Some important notes at the meeting mentioned above are:

1) One form of legal recognition of existing Sumapapua include North Luwu decree No.300 of 2004 on Recognition of Indigenous Existence Seko;

2) The basic problem that can hinder inventory and recognition was budget constraints at the provincial and district BLHD. Therefore, the appropriate input KLH participants should write to the Regent for this. Another thing that should encourage deconcentration accommodate inventory activities in the district;

3) At the request of the participants, the activities of inventors have conducted in all provinces by involving relevant SKPD, NGO activists, indigenous peoples, and mission management;

4) Region wisdom MHA generally located in forested areas, need to coordinate with the Ministry of Forestry, which will be given due recognition will affect the policy of the Ministry of Forestry;

5) For the effectiveness of the inventory necessary inventory data are available as data Kemendikbud and indigenous NGOs;

6) In the inventory need for indicators "of traditional knowledge related to genetic resources" properly inventoried and complete. ***



“Pedoman Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat, Kearifan Lokal dan Hak Masyarakat Hukum Adat terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH)” ini ditujukan untuk meningkatkan kompetensi aparat Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk melaksanakan inventarisasi masyarakat hukum adat di daerahnya sebagaimana diamanatkan dalam  Pasal 63 UU No. 32/2009 tentang PPLH.

Kegiatan ini berlangsung tanggal 16-17 Juli 2012 di Hotel Aryaduta, Makassar yang diikuti oleh lebih dari 77 orang peserta yang berasal BLH Provinsi, BLH Kabupaten, dan Bappeda Provinsi se-ekoregion Sulawesi Maluku dan Papua. Selebihnya dari LSM penggiatan adat  dan perguruan tinggi.

Salah satu kendala dalam pelibatan masyarakat hukum adat dalam PPLH serta perlindungan hak-haknya, termasuk dalam  implementasi Protocol Nagoya adalah ketidaksiapan data dasar yang lengkap dan sistematis keberadaan masyarakat hukum adat (MHA) dan kearifan lokal (KL).

Masyarakat Indonesia, khususnya di eko - region Sumapapua, memiliki potensi keberadaan masyarakat hukum adat dan kearifan lokal, termasuk pengetahuan tradisional yang terkait sumber daya genetik.

Keberadaan kelompok ini perlu didata dan dipublikasi untuk ditindaklanjuti dalam pemberian perlindungan hak terkait PPLH. Peran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten sangat penting dalam upaya inventarisasi masyarakat hukum adat (MHA) dan kearifan lokal (KL). Untuk mendukung upaya tersebut diperlukan pemahaman yang memadai  terkait dengan “Pedoman Inventarisasi Masyarakat Hukum Adat, Kearifan Lokal dan Hak Masyarakat”.



Sehubungan dengan itu, langkah awal yang ditempuh adalah sosialisasi pedoman yang telah diterbitkan oleh KLH tahun 2011. Materi sosialisasi adalah:
(1) Kebijakan inventarisasi MHA dan KL;
(2) Tata cara inventarisasi MHA dan KL;
(3) Kriteria MHA dan KL;
(4) Metode dan kelembagaan inventarisasi
      MHA dan KL;
(5)  Best practise inventarisasi MHA dan KL;
(6) Penguatan inisiatif MHA dan KL;
(7) Pendanaan kegiatan inventarisasi.

Beberapa catatan penting dalam pertemuan tersebut di atas adalah:
1). Salah satu bentuk hukum pengakuan yang sudah ada di Sumapapua 
      antara lain SK Bupati Luwu Utara No. 300 Tahun 2004 tentang 
      Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Seko;
2).Persoalan mendasar yang dapat menghambat inventarisasi dan 
     pengakuan adalah keterbatasan anggaran di BLHD Provinsi maupun
     Kabupaten. Karena itu, sesuai masukan peserta KLH perlu menyurati
     Bupati untuk hal ini. Hal lain perlu mendorong dana dekonsentrasi 
     yangmengakomodasi kegiatan inventarisasi di Kabupaten;
3).Sesuai permintaan peserta, kegiatan inventor perlu dilaksanakan di 
     semua provinsi dengan melibatkan SKPD terkait, LSM penggiat adat 
     dan perutusan kepengurusan adat;
4).Wilayah kearifan MHA umumnya berada di kawasan hutan, perlu 
     koordinasi dengan Kementerian Kehutanan, karena pengakuan yg 
     akan diberikan akan berdampak pada kebijakan Kementerian 
     Kehutanan;
5).Untuk efektifitas  kegiatan inventarisasi perlu inventarisasi data yang
     sudah tersedia seperti data Kemendikbud  dan LSM adat;
6).Dalam inventarisasi perlunya indikator “pengetahuan tradisional 
     terkait  sumber daya genetik” diinventaris secara baik dan lengkap.

No comments:

Post a Comment