Saturday, January 5, 2013

Dayak Pompakng



Sejarah Singkat Dayak Pompakng

Dayak Pompakng adalah salah satu subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau. Suku ini menyebut dirinya Dayak Pompakng berdasarkan kebiasaan suku ini membuat pemukimannya cenderung di pinggir sungai atau pantai. Pantai dalam bahasa kelompok suku ini disebut pompakng.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak Pompakng dalam komunikasi sehari-hari adalah bahasa Pompakng. Bahasa ini oleh kelompok suku ini disebut juga dengan istilah bahasa kidoh atau bokidoh. Bahasa tersebut banyak memiliki persamaan dengan bahasa yang ada di sekitarnya seperti bahasa Hibun, Kodatn, Panu, bahkan bahasa Simpakng di Kabupaten Ketapang dan juga beberapa dialek bahasa Jangkang.
Bahkan dialek ini dalam wilayah Kabupaten Sanggau Kapuas, hampir susah dibedakan dengan bahasa yang digunakan oleh suku Melayu Sanggau yang mereka sebut Sinan yang dikenal dengan istilah bahasa bekonay-konay. Kedua bahasa dari suku yang berbeda ini banyak memiliki kesamaan.
Wilayah Dayak Pompakng di Kabupaten Sanggau termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Kapuas. Jaraknya sekitar 265 kilometer dari kota Pontianak.

Mereka ini selain hidup di antara suku Melayu, juga dikelilingi oleh subsuku Dayak yang lain, seperti sebelah barat berbatasan dengan kawasan Dayak Hibun, Pangkodatn, dan kawasan Dayak Panu.
Sebelah utara berbatasan dengan lingkungan Dayak Jangkang. Sebelah timur berbatasan dengan kawasan Dayak Benawas. Sebelah selatan berbatasan dengan Dayak Desa. Orang Pompakng bermukim di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai Sekayam, yang terdiri dari lima desa dan tujuh dusun.
Sungai yang terdapat di daerah ini seperti Sungai Mengkiang-berdekatan dengan Desa Borakng dan Dusun Komokng-bermuara ke Sungai Sekayam. Umumnya sepanjang pantai sungai tersebut dihuni oleh suku Dayak Jangkang dan Melayu. Sementara itu, Sungai Ensogak melewati Desa Lintang Pelaman. Sungai Polimau bermuara di Desa Penyelimau Hilir dan Hulu.Asal-usul suku Dayak Pompakng menurut penuturan tetua suku ini berasal dari Kampung Borakng dan Kamokng.

Perpindahan orang Dayak Pompakng ke Pantai Kapuas terjadi sekitar abad ke-17. Hal ini dapat diketahui berdasarkan fakta bahwa mereka yang sekarang ini ada dan menghuni kampung yang baru adalah keturunan generasi ke lima. Jika dihitung rata-rata per generasi lima puluh tahun, maka migrasi orang Dayak Pompakng dari Borakng dan Kamokng berarti terjadi pada sekitar 300 tahun yang lampau.
Migrasi orang Dayak Pompakng terjadi karena di daerah asal mereka terjadi wabah dan bencana. Pada waktu itu muncul semacam bencana yang aneh Kampung mereka diserbu oleh ribuan kodok. Di mana-mana terdapat kodok, bahkan sampai naik ke rumah, masuk ke tempat tidur dan dapur. Singkatnya memenuhi rumah mereka. Setelah wabah ini mereda, kemudian muncul wabah baru, yaitu kampung tiba-tiba dipenuhi oleh kotoran (sejenis kotoran manusia) sehingga menimbulkan bau busuk yang menjijikkan. Peristiwa ini kemudian menyadarkan mereka bahwa kampung itu sudah tidak cocok lagi untuk dihuni. Sebagian besar dari mereka lalu pergi meninggalkan kampung dan mencari tempat lain.
Mereka yang pergi meninggalkan kampung itu mengikuti ke arah hilir sungai dengan menggunakan sampan. Mereka menelusuri Sungai Sekayam ke arah Kota Sanggau sekarang. Setelah sampai ke muara Sungai Sekayam, mereka terus melanjutkan perjalanan ke arah kanan, mengikuti aliran Sungai Kapuas. Rombongan ini kemudian membangun pemukiman baru di Lintang Lama dan mendirikan rumah panjang yang akhirnya terbakar.

Oleh sebab itu perkampungan ini terkenal dengan sebutan Tomawakng Mosu yang artinya ‘bekas kampung yang hangus’. Karena kampung tersebut sudah hangus, penduduk mencari daerah baru dan mendirikan pemukiman baru yaitu Lintang Bale’ Angin. Lama-kelamaan kampung ini berkembang.
Peristiwa selanjutnya, tepatnya ketika Raja Sulaiman akan memperluas daerah kekuasaannya di wilayah Sanggau secara politis dan keinginan untuk memperoleh keturunan karena isteri raja Sulaiman belum memperoleh keturunan, ia melirik anak tokoh Dayak Pompakng yang terkenal sakti, yaitu Macatn Buri yang bernama Sinot untuk dijadikan permaisuri yang kedua. Setelah perkawinan berlangsung, Sinot diberi nama baru yaitu Putri Nur Sinah.
Akibat dari perkawinan itu maka wilayah kekuasaan Raja Sulaiman meluas hingga Perkampungan Lintang Bale Angin yang merupakan daerah asal Puteri Sinot.
Dalam “agresi” berikutnya, warga Bale’ Angin ingin diislamkan atau dimelayukan,mengingat hampir seluruh penduduk Kampung Bale’ Angin adalah keluarga Sinot. Namun apa yang terjadi, tidak semua penduduk menyetujuinya hal ini. Buktiya, penduduk Bale’ Angin berpindah secara besar-besaran untuk mencari daerah baru.
Mereka mendirikan tempat pemukiman baru di Jawai, Jeranai, dan Sengkuang. Namun akhirnya, mereka juga menjadi Melayu (diislamkan) oleh Raja Sulaiman. Sebagian warga yang lain pergi menyusuri hilir Sungai Kapuas dan menambatkan perahunya di Korosek untuk bergabung dengan orang Pompakng yang telah terlebih dahulu mendiami kampung tersebut.
Setelah beberapa lama mendiami wilayah tersebut, wilayah itu dirasakan sempit karena semakin bertambahnya jumlah penduduk. Akhirnya mereka pindah ke pemukiman yang sudah lama mereka idam-idamkan, yaitu tepatnya di seberang sungai perkampungan mereka. Akan tetapi, karena peristiwa bekayau (bermusuhan antarsubsuku Dayak Pompakng dengan suku Dayak Panu), maka kawasan itu belum dijadikan hunian suku Dayak Pompakng.
Karena sudah lama diidam-idamkan maka kawasan itu di beri nama Jo’oh Oti yang sekarang disebut Jonti. Bukti adanya migrasi dari Korosek ini adalah adanya peninggalan di Korosek berupa sebuah tamawakng atau ‘bekas pemukiman’.Tidak semua warga pindah ke Jonti. Ada beberapa yang memilih daerah pemukiman yang lain seperti Senggodakng dan Penyelimau yang semuanya terletak di pinggir Sungai Kapuas. Sebagian lagi pergi kembali ke arah Lintang Bale’ Angin.
Mereka mendirikan tempat pemukiman baru yang dinamai Lintang Sompaoh. Melihat peristiwa terjadinya migrasi besar-besaran ini, Raja Sulaiman mengkwatirkan wilayah kekuasaannya semakin mengalami kemerosotan. Oleh karena itu, ia memerintah Jonti dan yang lainnya untuk kembali ke Desa Balik Angin. Beberapa warga Jonti menanggapi instruksi Raja Sulaiman ini secara serius. Bahkan mereka rela meninggalkan sumber mata pencaharian begitu saja. Ada beberapa keluarga yang memilih untuk kembali. Namun pada saat kembali, beberapa anggota keluarga ini bukannya kembali ke Desa Balik Angin.
Mereka memilih daerah hunian baru yang di tidak terlalu jauh dengan usaha perkebunan mereka di Balik Angin. Daerah hunian yang baru ini terletak di dalam Sungai Ensoga’ yang disebut Lintang Sompaoh. Pada kemudian hari, orang Dayak Pompakng yang menghuni Kampung Lintang Sompaoh karena ingin mencari tempat untuk ladang dan penghidupan baru lalu mendirikan tempat pemukiman baru yang kemudian menjadi Kampung Lintang Kapuas, Pelaman, dan Sungai Oba.


Perkawinan adat suku Dayak Pompakng tidak sah bila babi adat Solobar (pembacaan adat berkaitan dg perkawinan) tidak ada.
ukuran besar biasanya diatas 30 kg. Babi ini disembelih dan dibagi kepada orang kampung. dg urutan Kepala Dusun, Temenggung adar, Penguru adat, RT, ahli waris lantas masyarakat.
Besar kecilnya 'dodok' tergantung status dlm masyarakat. Yang penting biar sedikit, orang kampung harus dapat yg namanya 'dodok' tadi. "Dodok' berarti tanda. (gg)

Kepala Adat tertinggi Dayak Pompakng disebut Tomongokng Agokng, yang merupakan Tomongokng tertinggi dalam masyarakat adat Pompakng. Dia memiliki kekuasaan secara adat atas seluruh masyarakat adat Pompakng.


Adat perkawinan di dalam masyarakat adat Dayak Pompakng tidak boleh dilakukan antar pasangan yang satu garis keturunan sampai pada generasi ke tiga. Artinya mereka masih merupakan saudara dari satu aya’ (orang tua dari kakek dan nenek) yang sama. Perkawinan dapat dilakukan di antara mereka yang mempunyai darah yang sama satu aya’, hanya mulai pada generasi yang keempat.
Jika adat ini dilanggar, artinya terjadi perkawinan antar pasangan satu garis keturunan pada generasi ke tiga apalagi kedua, akan dikenakan sanksi adat yang berat. Diyakini perkawinan demikian termasuk incest (perkawinan sedarah), akan mendatangkan bencana bagi pasangan tersebut dan keturunannya, misalnya anak yang lahir akan bisu, buta, lumpuh atau sakit-sakitan. Selain itu keluarga mereka akan jadi bahan cemoohan masyarakat adat.



Rumah adat
suku Dayak Pompakng, Ompu’ Domuh (rumah panjang) selalu menghadap ke utara atau selatan. Arah demikian erat kaitannya dengan adatistiadat. Sebab menurut kepercayaan jika menghadap ke arah lain, semua rejeki, dan berkat akan hilang.
Bentuk Ompu’ Domuh memang unik, Onyatn (tangga) untuk turun naik hanya dua buah, satu terletak di ujung sebelah barat dan sebuah lagi di ujung sebelah timur.
sumber:
http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Pompakng
word-dialect.blogspot.com
orangkampokng.blogspot.com
kebudayaan-dayak.org
pontianak.tribunnews.com
gg- Gerad
dan sumber lain


No comments:

Post a Comment