Sejarah Singkat Dayak Pompakng
Dayak Pompakng adalah salah satu subsuku Dayak di Kabupaten Sanggau. Suku ini menyebut dirinya Dayak Pompakng berdasarkan kebiasaan suku ini
membuat pemukimannya cenderung di pinggir sungai atau pantai. Pantai dalam bahasa kelompok suku ini disebut pompakng.
Bahasa yang digunakan oleh masyarakat suku Dayak Pompakng dalam
komunikasi sehari-hari adalah bahasa Pompakng. Bahasa ini oleh kelompok
suku ini disebut juga dengan istilah bahasa kidoh atau bokidoh. Bahasa
tersebut banyak memiliki persamaan dengan bahasa yang ada di sekitarnya
seperti bahasa
Hibun, Kodatn, Panu, bahkan bahasa Simpakng di Kabupaten Ketapang dan juga beberapa dialek bahasa Jangkang.
Bahkan dialek ini dalam wilayah Kabupaten Sanggau Kapuas, hampir susah dibedakan dengan bahasa yang digunakan oleh suku Melayu Sanggau yang mereka sebut Sinan yang dikenal dengan istilah bahasa bekonay-konay. Kedua bahasa dari suku yang berbeda ini banyak memiliki kesamaan.
Bahkan dialek ini dalam wilayah Kabupaten Sanggau Kapuas, hampir susah dibedakan dengan bahasa yang digunakan oleh suku Melayu Sanggau yang mereka sebut Sinan yang dikenal dengan istilah bahasa bekonay-konay. Kedua bahasa dari suku yang berbeda ini banyak memiliki kesamaan.
Wilayah Dayak Pompakng di Kabupaten Sanggau termasuk dalam
wilayah administratif Kecamatan Kapuas. Jaraknya sekitar 265 kilometer
dari kota Pontianak.
Mereka ini selain hidup di antara suku Melayu, juga dikelilingi oleh subsuku Dayak yang lain, seperti sebelah barat berbatasan dengan kawasan Dayak Hibun, Pangkodatn, dan kawasan Dayak Panu.
Mereka ini selain hidup di antara suku Melayu, juga dikelilingi oleh subsuku Dayak yang lain, seperti sebelah barat berbatasan dengan kawasan Dayak Hibun, Pangkodatn, dan kawasan Dayak Panu.
Sebelah utara berbatasan dengan lingkungan Dayak Jangkang. Sebelah timur berbatasan dengan kawasan
Dayak Benawas. Sebelah selatan berbatasan dengan Dayak Desa.
Orang Pompakng bermukim di sepanjang Sungai Kapuas dan Sungai
Sekayam, yang terdiri dari lima desa dan tujuh dusun.
Sungai yang terdapat di daerah ini seperti Sungai
Mengkiang-berdekatan dengan
Desa Borakng dan Dusun Komokng-bermuara ke Sungai Sekayam.
Umumnya sepanjang pantai sungai tersebut dihuni oleh suku Dayak Jangkang
dan Melayu. Sementara itu, Sungai Ensogak melewati Desa Lintang
Pelaman. Sungai Polimau bermuara di Desa Penyelimau Hilir dan
Hulu.Asal-usul suku Dayak Pompakng menurut penuturan tetua suku ini
berasal dari Kampung Borakng dan Kamokng.
Perpindahan orang Dayak Pompakng ke Pantai Kapuas terjadi sekitar
abad ke-17. Hal ini dapat diketahui berdasarkan fakta bahwa mereka yang
sekarang ini ada dan menghuni kampung yang baru adalah keturunan
generasi ke lima. Jika dihitung rata-rata per generasi lima puluh tahun,
maka migrasi orang Dayak Pompakng dari Borakng dan Kamokng berarti
terjadi pada sekitar 300 tahun yang lampau.
Migrasi orang Dayak Pompakng terjadi karena di daerah asal mereka
terjadi wabah dan bencana. Pada waktu itu muncul semacam bencana yang
aneh Kampung mereka diserbu oleh ribuan kodok. Di mana-mana terdapat
kodok, bahkan sampai naik ke rumah, masuk ke tempat tidur dan dapur.
Singkatnya memenuhi rumah mereka. Setelah wabah ini mereda, kemudian
muncul
wabah baru, yaitu kampung tiba-tiba dipenuhi oleh kotoran (sejenis
kotoran manusia) sehingga menimbulkan bau busuk yang menjijikkan.
Peristiwa ini kemudian menyadarkan mereka bahwa kampung itu sudah tidak
cocok lagi untuk dihuni. Sebagian besar dari mereka lalu pergi
meninggalkan kampung dan mencari tempat lain.
Mereka yang pergi meninggalkan kampung itu mengikuti ke arah
hilir sungai dengan menggunakan sampan. Mereka menelusuri Sungai Sekayam
ke arah Kota Sanggau sekarang. Setelah sampai ke muara Sungai Sekayam,
mereka terus melanjutkan perjalanan ke arah kanan, mengikuti aliran
Sungai Kapuas. Rombongan ini kemudian membangun pemukiman baru di
Lintang Lama dan mendirikan rumah panjang yang akhirnya terbakar.
Oleh sebab itu perkampungan ini terkenal dengan sebutan Tomawakng Mosu yang artinya ‘bekas kampung yang hangus’. Karena kampung tersebut sudah hangus, penduduk mencari daerah baru dan mendirikan pemukiman baru yaitu Lintang Bale’ Angin. Lama-kelamaan kampung ini berkembang.
Oleh sebab itu perkampungan ini terkenal dengan sebutan Tomawakng Mosu yang artinya ‘bekas kampung yang hangus’. Karena kampung tersebut sudah hangus, penduduk mencari daerah baru dan mendirikan pemukiman baru yaitu Lintang Bale’ Angin. Lama-kelamaan kampung ini berkembang.
Peristiwa selanjutnya, tepatnya ketika Raja Sulaiman akan
memperluas
daerah kekuasaannya di wilayah Sanggau secara politis dan keinginan
untuk memperoleh keturunan karena isteri raja Sulaiman belum memperoleh
keturunan, ia melirik anak tokoh Dayak Pompakng yang terkenal sakti,
yaitu Macatn Buri yang bernama Sinot untuk dijadikan permaisuri yang kedua. Setelah
perkawinan berlangsung, Sinot diberi nama baru yaitu Putri Nur Sinah.
Akibat dari perkawinan itu maka wilayah kekuasaan Raja Sulaiman
meluas hingga Perkampungan Lintang Bale Angin yang merupakan daerah asal
Puteri Sinot.
Dalam “agresi” berikutnya, warga Bale’ Angin ingin diislamkan
atau dimelayukan,mengingat hampir seluruh penduduk Kampung Bale’ Angin
adalah keluarga
Sinot. Namun apa yang terjadi, tidak semua penduduk menyetujuinya hal
ini. Buktiya, penduduk Bale’ Angin berpindah secara besar-besaran untuk
mencari daerah baru.
Mereka mendirikan tempat pemukiman baru di Jawai, Jeranai, dan
Sengkuang. Namun akhirnya, mereka juga menjadi Melayu (diislamkan)
oleh Raja Sulaiman. Sebagian warga yang lain pergi menyusuri hilir
Sungai Kapuas dan menambatkan perahunya di Korosek untuk bergabung
dengan orang Pompakng yang telah terlebih dahulu mendiami kampung
tersebut.
Setelah beberapa lama mendiami wilayah tersebut, wilayah itu
dirasakan sempit karena semakin bertambahnya jumlah penduduk. Akhirnya
mereka pindah ke pemukiman yang sudah lama mereka idam-idamkan, yaitu
tepatnya di seberang sungai perkampungan mereka. Akan tetapi, karena
peristiwa bekayau (bermusuhan antarsubsuku Dayak Pompakng dengan suku Dayak Panu), maka kawasan itu belum dijadikan hunian suku Dayak Pompakng.
Karena sudah lama diidam-idamkan maka kawasan itu di beri nama
Jo’oh Oti yang sekarang disebut Jonti. Bukti adanya migrasi dari Korosek
ini adalah adanya peninggalan di Korosek berupa sebuah tamawakng atau
‘bekas pemukiman’.Tidak semua warga pindah ke Jonti. Ada beberapa yang
memilih daerah
pemukiman yang lain seperti Senggodakng dan Penyelimau yang semuanya
terletak di pinggir Sungai Kapuas. Sebagian lagi pergi kembali ke arah
Lintang Bale’ Angin.
Mereka mendirikan tempat pemukiman baru yang dinamai Lintang
Sompaoh.
Melihat peristiwa terjadinya migrasi besar-besaran ini, Raja Sulaiman
mengkwatirkan wilayah kekuasaannya semakin mengalami kemerosotan. Oleh
karena itu, ia memerintah Jonti dan yang lainnya untuk kembali ke Desa
Balik Angin. Beberapa warga Jonti menanggapi instruksi Raja Sulaiman ini
secara serius. Bahkan mereka rela meninggalkan sumber mata pencaharian
begitu saja. Ada beberapa keluarga yang memilih untuk kembali. Namun
pada saat kembali, beberapa anggota keluarga ini bukannya kembali ke
Desa Balik Angin.
Mereka memilih daerah hunian baru yang di tidak terlalu jauh
dengan usaha perkebunan mereka di Balik Angin. Daerah hunian yang baru
ini terletak di dalam Sungai Ensoga’ yang disebut Lintang Sompaoh. Pada
kemudian hari, orang Dayak Pompakng yang menghuni Kampung Lintang
Sompaoh karena ingin mencari tempat untuk ladang dan penghidupan baru
lalu mendirikan tempat pemukiman baru yang kemudian menjadi Kampung
Lintang Kapuas, Pelaman, dan Sungai Oba.
Perkawinan adat suku Dayak Pompakng tidak sah bila babi adat Solobar (pembacaan adat berkaitan dg perkawinan) tidak ada.
ukuran besar biasanya diatas 30 kg. Babi ini disembelih dan dibagi kepada orang kampung. dg urutan Kepala Dusun, Temenggung adar, Penguru adat, RT, ahli waris lantas masyarakat.
Besar kecilnya 'dodok' tergantung status dlm masyarakat. Yang penting biar sedikit, orang kampung harus dapat yg namanya 'dodok' tadi. "Dodok' berarti tanda. (gg)
Kepala Adat tertinggi Dayak Pompakng disebut Tomongokng Agokng, yang merupakan Tomongokng tertinggi dalam masyarakat adat Pompakng. Dia memiliki kekuasaan secara adat atas seluruh masyarakat adat Pompakng.
Adat perkawinan di dalam masyarakat adat Dayak Pompakng tidak boleh dilakukan antar pasangan yang satu garis keturunan sampai pada generasi ke tiga. Artinya mereka masih merupakan saudara dari satu aya’ (orang tua dari kakek dan nenek) yang sama. Perkawinan dapat dilakukan di antara mereka yang mempunyai darah yang sama satu aya’, hanya mulai pada generasi yang keempat.
Jika adat ini dilanggar, artinya terjadi perkawinan antar pasangan satu garis keturunan pada generasi ke tiga apalagi kedua, akan dikenakan sanksi adat yang berat. Diyakini perkawinan demikian termasuk incest (perkawinan sedarah), akan mendatangkan bencana bagi pasangan tersebut dan keturunannya, misalnya anak yang lahir akan bisu, buta, lumpuh atau sakit-sakitan. Selain itu keluarga mereka akan jadi bahan cemoohan masyarakat adat.
Rumah adat suku Dayak Pompakng, Ompu’ Domuh (rumah panjang) selalu menghadap ke utara atau selatan. Arah demikian erat kaitannya dengan adatistiadat. Sebab menurut kepercayaan jika menghadap ke arah lain, semua rejeki, dan berkat akan hilang.
Bentuk Ompu’ Domuh memang unik, Onyatn (tangga) untuk turun naik hanya dua buah, satu terletak di ujung sebelah barat dan sebuah lagi di ujung sebelah timur.
Perkawinan adat suku Dayak Pompakng tidak sah bila babi adat Solobar (pembacaan adat berkaitan dg perkawinan) tidak ada.
ukuran besar biasanya diatas 30 kg. Babi ini disembelih dan dibagi kepada orang kampung. dg urutan Kepala Dusun, Temenggung adar, Penguru adat, RT, ahli waris lantas masyarakat.
Besar kecilnya 'dodok' tergantung status dlm masyarakat. Yang penting biar sedikit, orang kampung harus dapat yg namanya 'dodok' tadi. "Dodok' berarti tanda. (gg)
Kepala Adat tertinggi Dayak Pompakng disebut Tomongokng Agokng, yang merupakan Tomongokng tertinggi dalam masyarakat adat Pompakng. Dia memiliki kekuasaan secara adat atas seluruh masyarakat adat Pompakng.
Adat perkawinan di dalam masyarakat adat Dayak Pompakng tidak boleh dilakukan antar pasangan yang satu garis keturunan sampai pada generasi ke tiga. Artinya mereka masih merupakan saudara dari satu aya’ (orang tua dari kakek dan nenek) yang sama. Perkawinan dapat dilakukan di antara mereka yang mempunyai darah yang sama satu aya’, hanya mulai pada generasi yang keempat.
Jika adat ini dilanggar, artinya terjadi perkawinan antar pasangan satu garis keturunan pada generasi ke tiga apalagi kedua, akan dikenakan sanksi adat yang berat. Diyakini perkawinan demikian termasuk incest (perkawinan sedarah), akan mendatangkan bencana bagi pasangan tersebut dan keturunannya, misalnya anak yang lahir akan bisu, buta, lumpuh atau sakit-sakitan. Selain itu keluarga mereka akan jadi bahan cemoohan masyarakat adat.
Rumah adat suku Dayak Pompakng, Ompu’ Domuh (rumah panjang) selalu menghadap ke utara atau selatan. Arah demikian erat kaitannya dengan adatistiadat. Sebab menurut kepercayaan jika menghadap ke arah lain, semua rejeki, dan berkat akan hilang.
Bentuk Ompu’ Domuh memang unik, Onyatn (tangga) untuk turun naik hanya dua buah, satu terletak di ujung sebelah barat dan sebuah lagi di ujung sebelah timur.
sumber:
http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Pompakngword-dialect.blogspot.com
http://www.kebudayaan-dayak.org/index.php?title=Dayak_Pompakngword-dialect.blogspot.com
orangkampokng.blogspot.com
kebudayaan-dayak.org
kebudayaan-dayak.org
pontianak.tribunnews.com
gg- Gerad
dan sumber lain
No comments:
Post a Comment