"kebanggaan" saya sebagai orang Dayak:
By: Piet Pagau
Saudara2ku sebangsa dan setanah air, mohon ijin mau bernostalgia; ini
kisah nyata mengenai "kebanggaan" saya sebagai orang Dayak:
(A).Dimasa Orde Baru, awal 80an,
(A).Dimasa Orde Baru, awal 80an,
- Saat itu ada acara penanaman PohonBeringin di Anjungan Kalbar di TMII oleh Ibu TIEN SOEHARTO. Saya
direkrut untuk anggota tim penerima tamu, berpakaian adat Dayak + tarian...
tradisional. Dengan segala keterbatasan, saya bercawat (Dayak Kanayatn
= KAPOA'), telanjang dada, bersongko' (topi) dengan hiasan bulu burung,
memegang perisi dan menyandang mandau.
Beberapa saat menjelang
kedatangan rombongan, saya dihampiri oleh PASPAMPRES, meminta agar
melepas mandau dan menyuruh saya memakai baju agar SOPAN untuk
menghormati Ibu Negara. Saya dengan sangat tegas menolak, kalau kostum
ini DIANGGAP tidak sopan dan membahayakan keselamatan Ibu Negara karena
pada saat tarian adat mandau dihunus, maka lebih baik penerima tamu
Dayak ditiadakan, biarlah penerima tamu Melayu dengan kostum teluk
belanga saja yang menyambut. Dibujuk seperti apapun (termasuk oleh
aparat Pemda) saya tetap tidak mau menuruti keinginan mereka, saya
katakan, INI WARISAN BUDAYA LELUHUR KAMI, INI ADAT KAMI. Akhirnya
mereka dapat menerima dan saya dengan sangat BANGGA menunjukan atraksi
TARIAN PERANG sambil membuka jalan buat rombongan karena saat itu ramai
sekali wartawan dari berbagai media dan ratusan pengunjung yang
memadati tempat acara. Jarak antara saya dengan Ibu TIEN SOEHARTO +-
2mtr.
(B). Thn.2004, menjelang Pemilu, pada saat kunjungan Bpk. SBY ke
Rumah Adat Dayak di Pontianak dalam rangka kampanye Partai Demokrat,
saya juga bercawat (KAPOA'), telanjang dada, bersongkok dengan hiasan
bulu burung, memegang perisai dan menyandang mandau. SBY belum menjadi
Presiden sehingga tidak bermasalah dengan Paspampres. Pada saat keluar
dari mobil, setelah beberapa saat barulah Ibu ANIE SBY mengenali saya
dan langsung berkomentar, wah!, tampil beda Pak Piet!, lalu saya jawab,
ini PDUB (Pakaian Dinas Upacara Besar), kami dan beginilah selayaknya
kami sebagai tuan rumah menerima tamu kehormatan.
(C). Agustus 2011,
Film BATAS diikut sertakan dalam FFI/Festival (pekan) Film Indonesia di
Melbeurne - Australia. Film BATAS diputar pertama pada hari pertama,
saat itu penonton sangat ramai, gedung teater/bioskop penuh. Selesai
pemutaran film, para pemain, saya (diperkenalkan oleh produser bukan
saja sebagai aktor pendukung tapi terutama sebagai Aktor Dayak),
Marcella Zalianty (Selaku Produser + Artis) dan Ardina Rasti (Artis)
diminta naik kepanggung, berdialog dengan penonton. Dalam acara
tersebut pertanyaan2 lebih banyak tentang "Dayak", dipenghujung acara
saya diminta untuk atraksi, menarikan tarian Dayak, mereka banyak
mendengar cerita tentang Dayak tapi baru hari itu ketemu dengan orang
Dayak yg sebenarnya. Untuk saya itu tidak masalah karena di HP saya ada
rekaman musik Sapeh.
Bayangkan saja, kakek2 usia 61 thn beratraksi.
Selesai menari TARIAN PERANG, banyak pertanyaan kenapa tariannya tidak
heboh, loncat2 dan teriak2 seperti tarian orang Papua, lalu saya
jelaskan bahwa dalam kehidupan kami orang Dayak terobsesi dengan alam
sekitar, kami diajarkan oleh alam agar selalu waspada, setiap saat
harus berhati-hati, SILENT ACTION, karena dialam yang keras ditanah
Borneo banyak bahaya yang mengancam, tarian perang kami mencerminkan
filosofi kehidupan, kaki diangkat satu2, melangkah perlahan, step by
step, baru memekik pekikan perang (Dayak Kanayatn = TARIU), pada saat
menyergap. Jadi dalam kesehariannya Orang Dayak adalah paduan LEMBUT
dan KERAS, hati2 dalam melangkah, selalu mewaspadai bahaya dari
lingkungan sekitar dan SILENT IN ACTION.-
( 23 April 2012/ Reposted by: Y Ngalai Nobessito )
Bagus Pak Piet. Majukan terus budaya Dayak. Saya termasuk penggemar dan pencinta seni...
ReplyDelete