Tuesday, December 23, 2014

MASALAH AKIBAT PROGRAM TRANSMIGRASI


MASALAH AKIBAT PROGRAM TRANSMIGRASI

Program transmigrasi yang dijalankan di Indonesia berkorelasi positif dengan hancurnya hutan tropis dan perusakan lingkungan. Selain itu, sebagian besar lahan transmigrasi adalah berasal dari hutan konversi.


One of the real form of government intervention in stimulating local economic development is a transmigration program. Transmigration program is intended to meet the manpower needs in the areas of labor shortages. However, in reality this transmigration program is more likely to remove poverty from densely populated areas to areas that have little population. With inductive logic thinking,

there are several reasons underlying this thinking, namely:
a. A person who is educated to degree / diploma will not be willing to face the risks and helped to transmigrants when there is no guarantee for him to get a job in the new settlements. This means that residents who participated in the average homesteader educated upper secondary education (high school) down, even illiterate
b. None of the residents who want to be a homesteader if the income generated each month at the locality better and able to support kelurganya within reasonable limits and decent.
c. None of the residents who are willing to be a homesteader if he already has a decent housing for families in the place of origin, except for the consideration for rent / leased
d. Pensioners who come into transmigrants are people who fall into the category is less productive. Logically, agencies / formal institutions alone is not considered productive, so retired. Especially for working in the agricultural sector relies more physical condition.
e. In general, people who are willing to come into homesteader, has the following characteristics: does not work or does not have a regular job, did not have agricultural land that can be cultivated in the place of origin, does not have a dwelling house habitable, or participants for transmigrants to home held at the place of origin can be rented.
f. Become a homesteader participants only as a medium to get the area of agricultural land, a monthly living allowance, and homes were uninhabitable. Modus, there are heads of households who have become citizens of transmigration in Sintang due to join her parents, after living several years in transmigration sites, then return to their home areas and to register again become citizens homesteader with a new purpose in Ketapang.
g. Construction of the location where the transmigration usually equipped with pre roads are already paved, while the road leading local residential areas in the vicinity of transmigration still a dirt road. These conditions often lead to jealousy, because the local community was not to enjoy the fruits of development.

Transfer of population through transmigration program in essence will aggravate the burden of the Provincial and District Governments are becoming the destination of transmigration. Logically, if there were 100 people living in a densely populated district moved through transmigration programs meant to reduce the denominator in the calculation of per capita income. This provides an opportunity rising real per capita income in the district of origin of the homesteader. In contrast, 100 people displaced persons will increase the denominator in the district that became the destination of transmigration. Increasing numbers of this divider will definitely lower the real per capita income in a district that is the destination of transmigration. The real per capita income will clearly provide significant contribution to the calculation of HDI.

So it becomes very natural to HDI in the district that became a destination homesteader growing very slowly, because the additional increase occurred in three composite indicators HDI is very small. Even Sambas district that many receive homesteader it ranks low on the achievement of HDI. Similar conditions also experienced by Ketapang and Bengkayang that also as the area of transmigration.
Implementation of the transmigration program is also in fact closely related to natural resource degradation.

Publication controversial international non-governmental organizations (International Non-Government Organizations), published by The Ecologist magazine (Arifin, 2001: 80) concludes that the transmigration program being run in Indonesia positively correlated with the destruction of tropical forests and environmental destruction. In addition, most of the land resettlement is derived from forest conversion.




Salah satu wujud nyata dari campur tangan pemerintah dalam mendorong pembangunan ekonomi daerah adalah program transmigrasi. Program transmigrasi ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerah-daerah yang kekurangan tenaga kerja. Hanya saja, dalam kenyataannya program transmigrasi ini lebih cenderung memindahkan kemiskinan dari daerah yang padat penduduknya ke daerah yang memiliki sedikit penduduk. Dengan logika berpikir induktif,

ada beberapa alasan yang mendasari pemikiran ini, yaitu :
a. Seorang yang berpendidikan sarjana/ diploma tidak akan bersedia menghadapi resiko dan ikut menjadi transmigran bila tidak ada jaminan bagi dirinya untuk mendapatkan pekerjaan di tempat pemukiman yang baru. Ini berarti, penduduk yang menjadi peserta transmigran rata-rata berpendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) ke bawah, bahkan ada yang buta huruf
b. Tidak ada satu pun penduduk yang mau menjadi transmigran bila pendapatan yang diperolehnya setiap bulan di daerah asalnya lebih baik dan mampu menghidupi kelurganya dalam batas-batas yang wajar dan layak.
c. Tidak ada satupun penduduk yang bersedia menjadi transmigran apabila ia sudah memiliki rumah yang layak huni bagi keluarganya di tempat asalnya, kecuali karena adanya pertimbangan untuk disewakan/ dikontrakkan
d. Pensiunan yang ikut menjadi warga transmigran adalah penduduk yang masuk dalam kategori sudah kurang produktif. Logikanya, instansi/ lembaga formal saja sudah tidak menganggapnya produktif, sehingga dipensiunkan. Apalagi untuk bekerja di sektor pertanian lebih mengandalkan kondisi fisik.
e. Secara umum, penduduk yang bersedia ikut menjadi transmigran, memiliki karakteristik berikut : tidak bekerja atau tidak memiliki pekerjaan tetap, tidak memiliki lahan pertanian yang bisa digarap di tempat asalnya, tidak memiliki rumah tempat tinggal yang layak huni, atau ikut menjadi peserta transmigran supaya rumah yang dimiliki di tempat asalnya bisa disewakan.
f. Menjadi peserta transmigran hanya sebagai satu media untuk mendapatkan areal lahan pertanian, jatah hidup bulanan, dan rumah tempat tinggal yang layak huni. Modusnya, ada kepala keluarga yang sudah menjadi warga transmigrasi di daerah Kabupaten Sintang karena ikut orang tuanya, setelah menetap beberapa tahun di lokasi transmigrasi, kemudian kembali ke daerah asalnya dan mendaftar lagi menjadi warga transmigran dengan tempat tujuan baru di Kabupaten Ketapang.
g. Pembangunan lokasi tempat transmigrasi biasanya dilengkapi dengan pra sarana jalan yang sudah diaspal, sedangkan jalan yang menuju pemukiman penduduk lokal di sekitar lokasi transmigrasi masih berupa jalan tanah. Kondisi ini seringkali menimbulkan kecemburuan sosial, karena masyarakat setempat merasa tidak ikut menikmati hasil pembangunan.

Pemindahan penduduk melalui program transmigrasi pada hakikatnya akan memperberat beban Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten yang menjadi tempat tujuan transmigrasi. Secara logika, bila ada 100 orang penduduk di suatu kabupaten yang padat penduduknya dipindahkan melalui program transmigrasi berarti akan mengurangi angka pembagi dalam perhitungan pendapatan per kapita. Hal ini memberi peluang naiknya pendapatan per kapita riil di daerah kabupaten asal transmigran tersebut. Sebaliknya, 100 orang penduduk yang dipindahkan ini akan menambah angka pembagi di daerah kabupaten yang menjadi tempat tujuan transmigrasi. Bertambahnya angka pembagi ini secara pasti akan menurunkan pendapatan per kapita riil di kabupaten yang menjadi tempat tujuan transmigrasi. Pendapatan per kapita riil ini jelas akan memberikan kontribusi yang cukup berarti terhadap perhitungan angka IPM.

Sehingga menjadi sangat wajar bila angka IPM di daerah kabupaten yang menjadi tempat tujuan transmigran berkembang sangat lambat, karena tambahan peningkatan yang terjadi pada tiga indikator komposit IPM memang sangat kecil. Bahkan Kabupaten Sambas yang banyak menerima transmigran justru menempati peringkat paling bawah dalam pencapaian angka IPM. Kondisi yang serupa dialami pula oleh Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Bengkayang yang juga sebagai daerah tujuan transmigrasi.
Pelaksanaan program transmigrasi ini juga dalam kenyataannya berkaitan erat dengan kerusakan sumberdaya alam.

Publikasi kontroversial organisasi non-pemerintah internasional (International Non Government Organization) yang diterbitkan oleh majalah The Ecologist (Arifin, 2001: 80) menyimpulkan bahwa program transmigrasi yang dijalankan di Indonesia berkorelasi positif dengan hancurnya hutan tropis dan perusakan lingkungan. Selain itu, sebagian besar lahan transmigrasi adalah berasal dari hutan konversi.


No comments:

Post a Comment