PAK KASIH - PEJUANG DAYAK DALAM MEMBELA TANAH BORNEO
PAK KASIH -
DAYAK FIGHTER IN DEFENDING THE LAND OF BORNEO
Tubuhnya
tidak laki kekar dan tegap, bungkuk tubuhnya pertanda tua, sepintas
tidak ada yang menyangka bahwa itu adalah Bucong (82) saksi hidup
pejuang kemerdekaan RI di Kabupaten Landak.
Masih teringat dimatanya di tahun 1946 waktu itu umurnya 19 tahun ia bersama kawan-kawannya yang sudah mendahuluinya seperti Gusik, apang, dan kotel berperang melawan belanda ketika Belanda datang kembali ke Indonesia dengan tentara NICA nya. Menurut kakek kelahiran Ganteng 3 Juni 1927 ini, sekitar lebih dari 500 pejuang orang Dayak bermarkas pertahanan di Baseko tepatnya di Desa Batung Pulai. Radius peperangan kurang lebih 3 km dari markas pejuang Dayak dengan tempat pertempuran di pertama Sijangkok.
Bucong mengisahkan bahwa serdadu Belanda sekitar 4 truk berada di Sebadu, pada waktu itu Panglima Sidong, Bardan Nadi dan Pak Kasih mengadakan rapat di Baseko tepatnya di rumah Amit (Mantri telepon). “Mereka akhirnya memberitahukan perang akan terjadi” Ungkap Bucong menerawang.
Tidak lama kemudian pada pukul 16:30 WIB, oktober 1946 mulai terjadi perang dengan tentara Belanda. “ Keahliannya orang Dayak pada waktu itu menutupi jalan dengan menebang pohon agar mobil Belanda tidak bisa lewat dan tidak bisa menyerang perkampungan warga orang Dayak” Kilasnya sambil memegang setapang lantaknya.
Dikisahkannya, Panglima Indat yang juga ikut dalam pertempuran membentuk pasukan Gerakan Rakyat Merdeka (Geram) Kubu I tempat pertemuan di Sepatah . Orang Dayak diundang oleh Bardan Nadi untuk membahas strategi peperangan melawan pasukan Belanda, dari situlah pejuang Dayak itu melanjutkan mangkok putih ba calek jalanang merah sehingga menyebar ke berbagai pelosok-pelosok desa. Setelah itu di Kampong Batung Pulai ditempatkan pertemuan besar-besaran yang pertama untuk mempersatukan para pejuang orang Dayak dan di Batung Pulai sebagai markas utama bagi pasukan Bala pejuang.
Lokasi kedua pertemuan di rumah Timanggong Amin Amer, tempat berunding bagi pasukan orang Dayak.
Pertemuan ini sempat dibubarkan, tidak lama seteleh itu pasukan kemudian pindah ke Sidas, disana diadakan pertemuan yang ketiga untuk terakhir kalinya bertempat di rumah Utih Daris, tujuannya untuk membahas menghadapi pasukan tentara Belanda yang ada di Ngabang.
Setelah rapat berencana akan membunuh Ya’ Umar seorang pribumi mata-mata Belanda, namun yang dicari tidak ketemu. Tidak lama waktu berselang Belanda tiba di Sidas. Melihat jumlah kedua kubu cukup imbang Belanda dan mengadakan perundingan dengan Panglima Pak Kasih. Pihak Belanda mengatakan ’’Senjata orang Dayak di turunkan,kami akan menyerahkan kemerdekaan ini kepada orang Dayak” Kata Bucong menirukan Komandan Belanda.
Namun permintaan itu ditolak oleh Pak Kasih dengan tantang ’’Baik nya Tuan buang senjata-senjata Tuan, kami tidak akan menyerah”. Kedua kubu saling mempertahankan pasukannya akhirnya tercapai kesepakatan tidak akan saling menembak. Setelah perundingan itu pak kasih beristirahat sejenak.
Beliau melepaskan semua beban yang ada ditubuhnya mulai dari senapan, tangkitn, hingga jimatnya. Setelah berunding dengan pasukan tentara Belanda, Pak Kasih ditipu oleh kaki tangan Belanda yang tempat istrirahatnya berbeda dengan Pak kasih. Kaki tangan belanda itu yang sengaja pelepaskan tembakan kearah Belanda sehingga Belanda mengira bahwa yang menembak ke arah mereka adalah kubu pak kasih. Belanda memberikan hujan peluru ke arah Pak Kasih dan kawan-kawannya, dan akhirnya pak kasih beserta kawan-kawan yang lain pun gugur dalam pertempuran, demikian Bucong mengakhiri kenangannya.
Berikut nama nama yang gugur di pertempuran Sidas yang dimakamkan di makam Juang Sidas,:
Nane alis Pak Kasih ,
Icik laso,
Dalon,
Joah ,
Simen,
Sinyun,
Ayub,
Fohin,
Dilam,
Bujang,
Unsang,
Husin,
Kowe,
Ja’I,
Johari,
Rabai, Aris,
Kari, Yamae,
Natonah,
Fatimah,
Dahlan,
Matoa,
Jalin,
Pak Sukna,
Usman,
Derani,
Abun,
Ya’Ai,
Paini,
Ahmat, dan
Kasim.
Masih teringat dimatanya di tahun 1946 waktu itu umurnya 19 tahun ia bersama kawan-kawannya yang sudah mendahuluinya seperti Gusik, apang, dan kotel berperang melawan belanda ketika Belanda datang kembali ke Indonesia dengan tentara NICA nya. Menurut kakek kelahiran Ganteng 3 Juni 1927 ini, sekitar lebih dari 500 pejuang orang Dayak bermarkas pertahanan di Baseko tepatnya di Desa Batung Pulai. Radius peperangan kurang lebih 3 km dari markas pejuang Dayak dengan tempat pertempuran di pertama Sijangkok.
Bucong mengisahkan bahwa serdadu Belanda sekitar 4 truk berada di Sebadu, pada waktu itu Panglima Sidong, Bardan Nadi dan Pak Kasih mengadakan rapat di Baseko tepatnya di rumah Amit (Mantri telepon). “Mereka akhirnya memberitahukan perang akan terjadi” Ungkap Bucong menerawang.
Tidak lama kemudian pada pukul 16:30 WIB, oktober 1946 mulai terjadi perang dengan tentara Belanda. “ Keahliannya orang Dayak pada waktu itu menutupi jalan dengan menebang pohon agar mobil Belanda tidak bisa lewat dan tidak bisa menyerang perkampungan warga orang Dayak” Kilasnya sambil memegang setapang lantaknya.
Dikisahkannya, Panglima Indat yang juga ikut dalam pertempuran membentuk pasukan Gerakan Rakyat Merdeka (Geram) Kubu I tempat pertemuan di Sepatah . Orang Dayak diundang oleh Bardan Nadi untuk membahas strategi peperangan melawan pasukan Belanda, dari situlah pejuang Dayak itu melanjutkan mangkok putih ba calek jalanang merah sehingga menyebar ke berbagai pelosok-pelosok desa. Setelah itu di Kampong Batung Pulai ditempatkan pertemuan besar-besaran yang pertama untuk mempersatukan para pejuang orang Dayak dan di Batung Pulai sebagai markas utama bagi pasukan Bala pejuang.
Lokasi kedua pertemuan di rumah Timanggong Amin Amer, tempat berunding bagi pasukan orang Dayak.
Pertemuan ini sempat dibubarkan, tidak lama seteleh itu pasukan kemudian pindah ke Sidas, disana diadakan pertemuan yang ketiga untuk terakhir kalinya bertempat di rumah Utih Daris, tujuannya untuk membahas menghadapi pasukan tentara Belanda yang ada di Ngabang.
Setelah rapat berencana akan membunuh Ya’ Umar seorang pribumi mata-mata Belanda, namun yang dicari tidak ketemu. Tidak lama waktu berselang Belanda tiba di Sidas. Melihat jumlah kedua kubu cukup imbang Belanda dan mengadakan perundingan dengan Panglima Pak Kasih. Pihak Belanda mengatakan ’’Senjata orang Dayak di turunkan,kami akan menyerahkan kemerdekaan ini kepada orang Dayak” Kata Bucong menirukan Komandan Belanda.
Namun permintaan itu ditolak oleh Pak Kasih dengan tantang ’’Baik nya Tuan buang senjata-senjata Tuan, kami tidak akan menyerah”. Kedua kubu saling mempertahankan pasukannya akhirnya tercapai kesepakatan tidak akan saling menembak. Setelah perundingan itu pak kasih beristirahat sejenak.
Beliau melepaskan semua beban yang ada ditubuhnya mulai dari senapan, tangkitn, hingga jimatnya. Setelah berunding dengan pasukan tentara Belanda, Pak Kasih ditipu oleh kaki tangan Belanda yang tempat istrirahatnya berbeda dengan Pak kasih. Kaki tangan belanda itu yang sengaja pelepaskan tembakan kearah Belanda sehingga Belanda mengira bahwa yang menembak ke arah mereka adalah kubu pak kasih. Belanda memberikan hujan peluru ke arah Pak Kasih dan kawan-kawannya, dan akhirnya pak kasih beserta kawan-kawan yang lain pun gugur dalam pertempuran, demikian Bucong mengakhiri kenangannya.
Berikut nama nama yang gugur di pertempuran Sidas yang dimakamkan di makam Juang Sidas,:
Nane alis Pak Kasih ,
Icik laso,
Dalon,
Joah ,
Simen,
Sinyun,
Ayub,
Fohin,
Dilam,
Bujang,
Unsang,
Husin,
Kowe,
Ja’I,
Johari,
Rabai, Aris,
Kari, Yamae,
Natonah,
Fatimah,
Dahlan,
Matoa,
Jalin,
Pak Sukna,
Usman,
Derani,
Abun,
Ya’Ai,
Paini,
Ahmat, dan
Kasim.
Ijin share cerita tentang tokoh kita Pak Kasih ini di blog kita bang. Tabe.
ReplyDelete