Monday, February 18, 2013

Head hunter ( Pengayau)

Head hunter ( Pengayau)
Ngayau a traditional Dayak tribe who inhabited the island of Borneo, Dayak both living in West Kalimantan and the Kalimantan other.
Iban tribe and  Kenyah
tribe are two of the indigenous Dayak people have Ngayau. In the true tradition of Ngayau, Ngayau not be separated from the victim's head man of the enemy. The most popular image of Borneo during this time is associated with head hunting (Ngayau).Bock's work, The Head Hunters of Borneo, published in England in 1881 greatly contributed to the creation of Dayak image as "the people's head hunters".
The practice of head hunting is a form of complex social behavior and has been fishing the emergence of a variety of explanations of the various authors, both from the "explorers" as well as academics.

For Ngaju Dayak tribe in Kalimantan, headhunting tradition for the sake of tiwah ceremony, the most sacred ceremony of Dayak Ngaju to usher the soul or spirit of man who died towards the sky to seven (Riwut, 2003: 203). According Width (1972: 171), among the Kenyah, headhunting important in relation to Mamat, the party cutting head, which ended his mourning and initiation rites accompanying to enter the system status stratified, Suhan, for warriors. Hunters who successfully are entitled to wear head gear panther in his ears, feather headdresses of hornbill, and a tattoo with a special design.
The attacks carried out by the head hunters of small groups of ten to twenty men moving silently and suddenly. They really pay attention to omens, especially birds. After use in the ceremonies Mamad, the heads were hung on a long porch, dealing with spaces amid the longhouse chief residence. In the past the Dayak Kenyah reported as the most famous headhunters in Borneo.
Like the Dayak Kenyah, the Dayak Iban headhunting ceremonies also called Gawai. The ceremony was not only religious, but also involves a massive party with free drinks and have fun (Width, 1972: 184).
Miller, an explorer, such as writing in his Black Borneo (1946: 121), states that the practice of head hunting can be explained in terms of supernatural powers by the Dayaks believed to exist in the human head. For the Dayaks, the human skull is dried is the most powerful magic in the world. A new head decapitated strong enough to save the village from the plague throughout.
A head that has been laced with herbs when manipulated appropriately strong enough to produce rain, increasing rice yields, and cast out demons. If it was not strong enough, that his strength was fading and needed a new skull. Meanwhile, Mc Kinley headhunting ritual describes it as a process of transition, in which the people who once were enemies become friends with how to integrate them into the everyday world.
There may be a question, in the tradition of such Ngayau why should the head and not the parts of the body are taken. Mc Kinley found (1976: 124), the head chosen as a fitting symbol for these rituals because the head contains the elements of the face, which in a way similar to the social value of personal names, the most concrete symbol of social identity (social personhood). Own identity in turn is the most human attributes belong to the enemy and thus the attributes that must be claimed by the community itself.

In his study of the Dayak Iban, Freeman said that merely symbolic head hunting associated with fertility. Parallels between the human head and fertility is something that is central in the discussion about the practice of head hunting. Freeman says (1979: 234), the culmination of extraordinary allegory becomes central to headhunting ritual performed by the Iban people when it was sung by shamans spells reader, made by candidates head hunter, is a ritual known as Ngelampang literally chop or cut into small sections.
In this part of the allegory is presented a graphic description of the ritual or Antu artificial head splitting head by a Lang Singalang Burong the Iban god of war. Lang perform this ritual (something that represents the actual beheading enemies) with one sword (saber) is doing very quickly, and from it flowed head dibelahnya seeds ditaurkan will arise when a human figure.

Not all of the Dayak tribe in Kalimantan apply Ngayau tradition-head-passive. As well as the Dayak Dayak tribes Meratus Maanyan and, in their customary Ngayau no terms, but based on the stories of their old custom, during a time of war the knights and Dayak Dayak Maanyan Meratus when fighting an enemy leader's head is used as the target them.If they had managed to cut off the head of his boss, then the soldiers will soon capitulated. Head is not the enemy leaders as a complement to customary rituals performed Dayak Kenyah, Iban and Ngaju, head remains buried with his body.
Although Dayak Meratus  &
Dayak Maanyan did not apply Ngayau in their custom, but they still found a human head has an important meaning that the top of the head (height) in the human body and has one status symbol.
One of the considerable influence in the life of Dayak community was during the Dutch colonial government took place in 1874 when the Damang Batu  (Dayak Chief Kahayan) collect sub-sub tribe Dayak
to hold Consultative Peace in  Tumbang Anoi. Deliberation is known as the Treaty Tumbang Anoi. In the discussion that supposedly lasts for months, people all over the Borneo Dayak reached an agreement to avoid and eliminate the tradition of headhunting. Because they have led to disputes between the Dayak. Finally, in the deliberations of all disputes buried and the perpetrators were fined in accordance with customary law Dayak.
Although until now no single analysis can explain exactly and precisely the hidden meaning of the tradition Ngayau because ritual is so complex and so mysterious, but it can be drawn a conclusion that the tradition is very important to the portrayal Ngayau image Dayak group that is one of the symbols a tribal identity. Cutting head / ngayau re-emerged during the inter-ethnic riots swept West Kalimantan and Central Kalimantan few years ago.
Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Een Ibu Dajak krijger uit Long Nawan Z. en O. afdeling Borneo. TMnr 60034031.jpg

Ngayau merupakan tradisi Suku Dayak yang mendiami pulau Kalimantan, baik Dayak yang tinggal di Kalimantan Barat maupun Kalimantan lainnya. Suku Iban dan Suku Kenyah adalah dua dari suku Dayak yang memiliki adat Ngayau. Pada tradisi Ngayau yang sesungguhnya, Ngayau tidak lepas dari korban kepala manusia dari pihak musuh. Citra yang paling populer tentang Kalimantan selama ini adalah yang berkaitan dengan berburu kepala (Ngayau).
Karya Bock, The Head Hunters of Borneo yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1881 banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai “orang-orang pemburu kepala”.
Praktik berburu kepala adalah salah satu bentuk komplek perilaku sosial dan sudah memancing munculnya beragam penjelasan dari berbagai penulis, baik dari kalangan “penjelajah” maupun kalangan akademisi.

Bagi suku Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, tradisi mengayau untuk kepentingan upacara Tiwah, yaitu upacara sakral terbesar suku Dayak Ngaju untuk mengantarkan jiwa atau roh manusia yang telah meninggal dunia menuju langit ke tujuh (Riwut, 2003 : 203). Menurut Lebar (1972 : 171), dikalangan masyarakat Kenyah, perburuan kepala penting dalam hubungannya dengan Mamat, yaitu pesta pemotongan kepala, yang mengakhiri masa perkabungan dan menyertai upacara inisiasi untuk memasuki sistem status bertingkat, Suhan, untuk para prajurit perang. Pemburu-pemburu kepala yang berhasil berhak memakai gigi macan kumbang di telinganya, hiasan kepala dari bulu burung enggang, dan sebuah tato dengan desain khusus.

Serangan-serangan para pemburu kepala dilakukan oleh kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari sepuluh hingga dua puluh orang laki-laki yang bergerak secara diam-diam dan tiba-tiba. Mereka sangat memperhatikan pertanda-pertanda, khususnya burung-burung. Setelah digunakan dalam upacara-upacara Mamad, kepala-kepala itu digantung di beranda rumah panjang, berhadapan dengan ruang-ruang tengah yang menjadi tempat tinggal ketua rumah panjang. Di masa lalu Suku Dayak Kenyah dilaporkan sebagai pemburu kepala yang paling terkenal di Kalimantan.

Seperti halnya suku Dayak Kenyah, suku Dayak Iban juga melakukan upacara perburuan kepala yang disebut Gawai. Upacara ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga melibatkan pesta besar-besaran dengan minum-minuman dan bersenang-senang (Lebar, 1972 : 184).
Miller yang seorang penjelajah, misalnya menulis dalam Black Borneo-nya (1946 : 121), menyatakan bahwa praktik memburu kepala bisa dijelaskan dalam kerangka kekuatan supernatural yang oleh orang-orang Dayak diyakini ada di kepala manusia. Bagi orang Dayak, tengkorak kepala manusia yang sudah dikeringkan adalah sihir yang paling kuat di dunia. Sebuah kepala yang baru dipenggal cukup kuat untuk menyelamatkan seantero kampung dari wabah penyakit.

Sebuah kepala yang sudah dibubuhi ramu-ramuan bila dimanipulasi dengan tepat cukup kuat untuk menghasilkan hujan, meningkatkan hasil panen padi, dan mengusir roh-roh jahat. Kalau ternyata tak cukup kuat, itu karena kekuatannya sudah mulai pudar dan diperlukan sebuah tengkorak yang baru. Sementara itu Mc Kinley menggambarkan ritual perburuan kepala itu sebagai sebuah proses transisi, dalam mana orang-orang yang dulunya adalah musuh menjadi sahabat dengan cara memadukan mereka ke dalam dunia keseharian.
Mungkin ada sebuah pertanyaan, dalam tradisi Ngayau tersebut mengapa harus kepala dan bukan bagian-bagian tubuh yang lain yang diambil. Mc Kinley berpendapat (1976 : 124), kepala dipilih sebagai simbol yang pas untuk ritual-ritual ini karena kepala mengandung unsur wajah, yang dengan cara serupa dengan nilai sosial tentang nama-nama personal, merupakan simbol yang paling konkret dari jati diri sosial (social personhood). Jati diri sendiri ini pada gilirannya adalah atribut paling manusiawi milik si musuh dan karenanya menjadi atribut yang harus diklaim oleh komunitas orang itu sendiri.

Dalam kajiannya tentang suku Dayak Iban, Freeman mengatakan bahwa berburu kepala semata simbolik berkaitan dengan kesuburan. Paralel-paralel antara kepala manusia dan kesuburan merupakan sesuatu yang sentral dalam pembahasan tentang praktik berburu kepala. Freeman mengatakan (1979 : 234), puncak dari alegori luar biasa yang menjadi hal yang sentral dalam upacara perburuan kepala yang dilakukan oleh orang-orang Iban yang ketika sudah disenandungkan oleh dukun-dukun pembaca mantra, dilakukan oleh calon-calon pemburu kepala, adalah sebuah ritual yang dikenal dengan nama Ngelampang yang secara harfiah berarti mencincang atau memotong menjadi bagian-bagian kecil.

Di dalam bagian alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan atau antu pala oleh seorang Lang Singalang Burong yaitu dewa perang suku Iban. Lang melakukan ritual ini (sesuatu yang melambangkan pemenggalan kepala musuh yang sesungguhnya) dengan satu tebasan pedang (mandau) yang dilakukannya dengan sangat cepat, dan dari kepala yang dibelahnya itu mengalir benih-benih yang bila ditaurkan akan timbul menjadi sesosok tubuh manusia.

Tidak semua suku Dayak di Kalimantan menerapkan Tradisi Ngayau- Pengayau pasif . Seperti halnya Suku Dayak Maanyan dan Suku Dayak Meratus, dalam adat mereka tidak ada istilah Ngayau, namun berdasarkan cerita para tetuha adat mereka, ketika terjadi perang waktu dulu para ksatria-ksatria Dayak Maanyan dan Dayak Meratus pada saat berperang kepala pimpinan musuh yang dijadikan target sasaran mereka.

Apabila kepala pimpinannya berhasil mereka penggal, maka para prajuritnya akan segera bertekuk lutut. Kepala pimpinan musuh tersebut bukan sebagai pelengkap ritual-ritual adat sebagaimana yang dilakukan suku Dayak Kenyah, Iban dan Ngaju, kepala tersebut tetap dikuburkan bersama badannya.

Meskipun suku Dayak Meratus dan Maanyan tidak menerapkan tradisi Ngayau dalam adat mereka, namun mereka tetap berpendapat bahwa kepala manusia memiliki arti penting yaitu kepala bagian yang paling atas (tinggi) di tubuh manusia dan memiliki simbol status seseorang.


Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa pemerintahan kolonial Belanda berlangsung yaitu ketika pada tahun 1874 Damang Batu (Kepala Suku Dayak Kahayan) mengumpulkan sub-sub Suku Dayak untuk mengadakan Musyawarah Damai Tumbang Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan Perjanjian Tumbang Anoi. Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan-bulan lamanya itu, masyarakat Dayak di seluruh Kalimantan mencapai kesepakatan untuk menghindari dan menghilangkan tradisi mengayau.
Karena dianggap telah menimbulkan perselisihan di antara suku Dayak. Akhirnya, dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur dan pelakunya didenda sesuai dengan hukum adat Dayak.
Meskipun hingga kini tidak ada satupun analisis yang dapat menjelaskan secara pasti dan tepat makna yang tersembunyi dari tradisi Ngayau tersebut karena ritual ini sedemikian kompleks dan sedemikian misteriusnya, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa tradisi Ngayau sangat penting bagi penggambaran citra kelompok Dayak yang merupakan salah satu simbol suatu identitas kesukuan. Pemotongan kepala/ngayau kembali muncul ketika terjadi kerusuhan antar-etnis melanda Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah beberapa tahun yang lalu.

Perjanjian Tumbang Anoi


Kampung Tumbang Anoi (tempo dulu) di sungai Kahayan


Rujukan

  • Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak, Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta : Lkis.
  • Laksono, P.M, et al. 2006. Pergulatan Identitas Dayak dan Indonesia – Belajar dari Tjilik Riwut. Yogyakarta : Galangpress (Anggota IKAPI)
  •  http://id.wikipedia.org/wiki/Ngayau

No comments:

Post a Comment